Wednesday, August 27, 2008

Batasi Tanggung Jawab, Kepala Daerah Tak Beretika

Rabu, 27 Agustus 2008 | 15:02 WIB

Laporan Wartawan Kompas Orin Basuki

JAKARTA, RABU - Kepala daerah yang mengkapling tanggung jawabnya hanya pada periode di saat dia memimpin merupakan kepala daerah yang tidak beretika. Itu ditekankan karena pemikiran kepala daerah yang hanya mau bertanggung jawab atas semua kebijakan yang ada selama dia memimpin cenderung merusak tatanan kemasyarakat, dan meluas ke masalah perekonomian.

Menteri Keuangan dan Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal tersebut saat berbicara dalam acara Sosialisasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.05/2008 tentang Penyelesaian piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah pada Perus ahaan daerah Air Minum (PDAM) di Jakarta, Rabu (27/8).

Menurut Sri Mulyani, tugas mengurus negara sama dengan beban dalam mengelola daerah. Kepala daerah yang memimpin di daerah jangan hanya memikirkan kondisi yang ada pada saat dia memimpin, tetapi kondisi ke depan daerah tersebut.

Sikap kepala daerah ini ditekankan dalam konteks perilaku sebagian besar kepala daerah selama ini yang menjadikan PDAM sebagai sapi perahan demi memenuhi kebutuah kekuangan sesaat. Padahal, perilaku tersebut sangat membahayakan kebe rlangsungan bisnis PDAM. Salah satu bentuk intervensi kepala daerah terhadap PDAM yang merusak daya tahan bisnisnya adalah penolakan menaikkan tarif jual air minum PDAM.  

"Sangat tidak beretika jika seorang pemimpin hanya bertanggung jawab atas kondisi yang ada di saat dia memimpin, tanpa memperhatikan dampak buruk dari kebijakan yang dibuatnya terhadap kebaikan daerah itu di masa depan," ujar Sri Mulyani.

Catatan Pengirim :

kalo sudah tidak berwenang haruskah dia masih bertanggung jawab? maka itu untuk menghindari "sikap tidak bertanggung jawab"harus ada program periodic selama jabatan dan periodic panjang


Tuesday, August 26, 2008

Lebaran, Pegadaian Makassar Siapkan Dana Rp 1 Triliun

Lebaran, Pegadaian Makassar Siapkan Dana Rp 1 Triliun
Rabu, 27 Agustus 2008 | 04:15 WIB

MAKASSAR, RABU - Perum Pegadaian wilayah Makassar menyiapkan modal kerja sebesar Rp1 triliun, untuk mengantisipasi lonjakan aksi gadai selama ramadan hingga Idul Fitri. "Modal kerja itu akan disiapkan hingga pasca lebaran nanti," kata Humas Madya Perum Pegadaian Makassar, Safiuddin di Makassar, Selasa (26/8).

Dia menyebutkan, sampai saat ini modal kerja yang telah disalurkan mencapai Rp300 miliar. Permintaan kredit pegadaian menjelang ramadan 2008 meningkat 35 persen,  bila dibandingkan dengan permintaan kredit pada tahun sebelumnya.

Antrean permintaan kredit diperkirakan akan terus terjadi hingga lebaran mendatang. "Antrean permintaan kredit masih sangat padat, di sejumlah unit pelayanan pegadaian di Sulsel," ujarnya.

Menurut Safiuddin, aksi tebus yang akan dilakukan nasabah pegadaian sejauh ini relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan lonjakan aksi gadai, walaupun diakui masyarakat akan memperoleh Tunjangan Hari Raya (THR) menjelang lebaran nanti.

Barang jaminan dalam aksi gadai yang dilakukan nasabah saat ini, hampir 90 persen menggunakan barang emas. Untuk itu, pihak pegadaian menyiapkan fasilitas khusus jasa taksiran emas.

Fasilitas itu disiapkan untuk membantu masyarakat mengukur kadar emas yang akan dijaminkan. Pengetesan kadar emas itu di lakukan dengan menggunakan pola uji kimia dan pengukuran melalui berat jenis emas. 

catatan pengirim :

apalah arti sebuah pesta kalo selama menikmati pestanya mikirin sepeda motor yang digadaikan?

tapi juga apa enaknya kalo saat menikmati lebaran anak nangis istri cemberut?

besar pasak daripada tiang,kalaulah kita semua sadar peribasa ini dan mengambil intisarinya niscaya enak terasa lebaran.

Monday, August 25, 2008

Warga Madiun Terpaksa Mengonsumsi Air Keruh

Warga Madiun Terpaksa Mengonsumsi Air Keruh
Senin, 25 Agustus 2008 | 20:45 WIB

MADIUN, SENIN - Kesulitan air di Kabupaten Madiun meluas. Warga Dusun Karangsemi, Desa Karangrejo, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun terpaksa mengonsumsi air yang keruh dari saluran irigasi sebagai imbas dari matinya pasokan air bersih dari jaringan pipa PDAM.

Di wilayah RT 24 Karangsemi, Senin (25/8), warga terpaksa memanfaatkan air yang kondisinya keruh dari saluran irigasi untuk kebutuhan minum, masak, mandi, dan mencuci. Pasalnya, air dari jaringan pipa PDAM sudah tidak lagi mengalir.

Air dari saluran irigasi ini ditampung di kolam dan sumur yang dibuat warga. Pengaliran air inipun dibatasi, seminggu hanya sekali.  

"Sebenarnya air ini tidak sehat, buktinya ada warga yang diare atau gatal-gatal setelah memanfaatkan air keruh ini , tetapi mau bagaimana lagi? Tidak ada lagi cara untuk mendapatkan air bersih," kata Wagirah, salah satu warga.

Warga sebetulnya bisa saja meminta dipasok air bersih oleh PDAM. Namun untuk mendatangkan satu unit mobil tangki air bersih milik PDAM, warga harus membayar Rp 170.000.  

"Tidak mungkin warga bisa mengeluarkan uang sebesar itu, apalagi saat kemarau ini banyak warga yang menganggur setelah lahan sawah tidak bisa ditanami karena tidak ada air," ujar Saiman.

Kesulitan warga Kabupaten Madiun memperoleh air bersih tidak hanya terjadi di Karangsemi. Sebelumnya, warga Desa Simo, Kecamatan Balerejo juga kesulitan memperoleh air bersih setelah air di mayoritas sumur warga habis.

Catatn Pegiriman :

Hal-hal seperti ini yang harus dihindari,supaya tidak terjadi menimpa sebagian rakyat.Siapa yang bertanggung jawab?

 

Saturday, August 23, 2008

Bangsa Besar Harus Punya Mimpi Besar

Bangsa Besar Harus Punya Mimpi Besar

Minggu, 24 Agustus 2008 | 00:05 WIB

SEMARANG, SABTU - Rektor Universitas Negeri Jakarta Prof. Dr. Komarudin Hidayat mengemukakan, mimpi dan imajinasi perlu dibangun di setiap kampus. Dengan begitu, katanya, pemikiran mahasiswa terus berkembang.
     
"Semua bangsa besar mempunyai mimpi yang besar, mahasiswa yang sukses juga mempunyai mimpi, kalau tidak punya mimpi apa jadinya," katanya pada "Sarasehan penguatan nilai-nilai luhur budaya Indonesia dalam rangka penguatan akhlak mulia di perguruan tinggi" di Universitas Negeri Semarang (Unnes), Sabtu.
     
Sebagai pembicara dalam sarasehan tersebut juga hadir Sekretaris Jenderal Depdiknas Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, Rektor Unnes Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, dan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dr. Mudjib Rohmat.
     
Komarudin mencontohkan, Jepang menjadi negara maju karena mempunyai mimpi besar. Setelah Nagasaki-Hirosima dibom, mereka mempunyai mimpi besar untuk mengalahkan Amerika Serikat.
     
Kemudian terbukti, Jepang bisa membalasnya melalui bidang industri yang berkembang sangat pesat. Begitu juga Korea banyak mobil bagus tidak ada yang dari Eropa, mereka memulai dengan teknologi informasi.
     
Ia mengatakan, India juga mempunyai mimpi 20 tahun lagi akan mengalahkan software AS dan Cina juga punya mimpi akan mengalahkan bidang manufaktur.
     
"Dulu Indonesia juga punya mimpi oleh Gajah Mada dan Bung Karno. Mimpi-mimpi itu harus dibangun di kampus-kampus sebab kalau kita tidak punya mimpi dan imajinasi maka akan jatuh pada satu pemikiran yang pragmatik sekali dan kemudian Indonesia yang besar ini akan hilang," katanya.
     
Ia mengatakan, bangsa Indonesia sedang dihinggapi virus SMS (senang melihat orang lain susah), rendah diri, dan bermental penjajah. "Kalangan kampus harus bisa menghilangkan hal tersebut," katanya.
     
Dodi Nandika mengatakan bangsa Indonesia bernegara bukan hanya sekadar untuk meningkatkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lebih jauh untuk ketertiban dunia.
     
Perkembangan teknologi, katanya, begitu cepat yang berpengaruh pada pola hidup bahkan peran orangtua dan guru saat ini kalah dengan peran televisi.
     
"Kita agak susah mengontrol pengaruh media, tetapi sekolah dan perguruan tinggi harus mulai kembali segarkan penyerapan nilai-nilai luhur budaya bangsa," katanya.
     
Menurut dia, bangsa Indonesia lebih suka menjelek-jelekkan bangsa sendiri. "Hal ini sangat berbahaya karena kita tidak punya semangat untuk bangkit. Memang betul banyak kekurangan, tetapi harus disyukuri sebagai bekal untuk bangkit," katanya.

Catatan Pengirim ;

Apalah jadinya kalo bangsa ini terbuai mimpi...? bermimpi sepanjang hari,,ingat,orang bisa mimpi kalo tidur,bangsa malas kalo tidur melulu..

Apalah jadi kalo bangsa ini disuapi mimpi? jadilah mereka bangsa yang malas..orang malas hanya bisa bermimpi.begitu bangun terkagetkan kalo nasi ga datang ke piring sendiri.

jadikan bangsa ini yang mau kerja keras,yang siap kerja keras,yang tidak cepat menyerah,yang bukan saja tidak takut mati tapi juga berani peras keringat.

BANGSA BESAR ADALAH BANGSA YANG MAU KERJA KERAS

Tuesday, August 19, 2008

PKS, Antara Pengharapan dan Pengakuan

assalaamu’alaikum wr. wb.

 

Menjelang Pemilu 2009, banyak harapan kembali disandangkan kepada parpol-parpol Islam.  Yang disebut parpol Islam tidak mesti partai berasaskan Islam, melainkan juga parpol yang berbasis massa Islam.  Dengan demikian, definisi ini mencakup PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, PAN, PKB dan semacamnya.  Meskipun Golkar dan PDIP pun banyak memiliki anggota dari kalangan Muslim, namun ia tidak termasuk dalam kelompok parpol Islam ini, karena keduanya tidak menjadikan umat Islam sebagai basis massa.  Pandangan ini tidak berubah meskipun PDIP, misalnya, telah mendirikan ormas Islam yang diberi nama Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi).

 

Kalangan pengamat pada umumnya sepakat bahwa pada Pemilu 2009 nanti insya Allah kita akan menemukan pergeseran kekuatan yang cukup signifikan.  PKB umumnya diprediksi akan terlempar dari ‘papan atas’ dan pindah ke ‘papan tengah’ lantaran konflik yang tak ada habisnya dan sikap Gus Dur yang tidak toleran dalam menyikapi perbedaan pendapat.  Meski demikian, sosok Gus Dur masih sangat strategis dan bisa menentukan perolehan suara PKB Muhaimin secara signifikan.  Banyak orang masih meragukan kemampuan Muhaimin untuk mengelola PKB tanpa Gus Dur.  Sebaliknya, banyak pula yang berpendapat bahwa PKB hanya bisa selamat jika melepaskan diri dari Gus Dur.  Namun semua sepakat bahwa konflik PKB harus segera dituntaskan jika PKB ingin tetap memiliki peran yang signifikan di Pemilu 2009.

 

PPP dan PKNU diprediksi akan mendapat tambahan suara akibat konflik PKB ini.  PPP adalah ‘rumah lama’ warga NU semasa Orde Baru, sementara PKNU secara khusus didirikan sebagai jawaban atas kekecewaan sebagian warga NU atas kepemimpinan (atau kediktatoran) Gus Dur di PKB.  Meski demikian, PPP juga mengalami masalah pada pencitraan dirinya karena kasus Al Amin Nur Nasution, sementara PKNU pun masih dipertanyakan kekuatan riilnya.  Masih ada satu lagi parpol yang berakar pada PPP, yaitu PBR, namun parpol ini pun mengalami masalah karena kehilangan Zainuddin M. Z. dan tersandung kasus Bulyan Royan.

 

PAN dan PBB adalah parpol yang cukup eksis sejak Pemilu 1999 dan memiliki basis massa yang cukup jelas, namun juga tidak sepi dari masalah.  PAN menghadapi cukup banyak tantangan, mulai dari kekecewaan kader Muhammadiyah terhadap PAN yang ‘malu-malu’ menampakkan identitas keislamannya, resistensi (sebagian) kader PAN terhadap dominasi figur Amien Rais, migrasi kader-kader muda ke Partai Matahari Baru (PMB), sampai pada masalah citra partai akibat iklan Soetrisno Bachir yang dianggap terlalu jor-joran itu.  PBB pun memiliki masalah yang cukup berbahaya untuk jangka panjang, terutama dalam masalah kaderisasi dan program jangka panjang yang kurang jelas.

 

Satu-satunya parpol Islam yang (kembali) diprediksi akan menuai peningkatan adalah PKS.  Setelah mendulang suara pada Pemilu 2004 dengan jumlah tiga kali lipat dari hasil Pemilu 1999 (ketika itu masih bernama PK), PKS terus berinovasi di medan politik.  Di DPR, suara para wakilnya cukup nyaring terdengar, meskipun jumlahnya masih relatif sedikit.  Gonjang-ganjing dana gratifikasi dan sirkulasi uang haram di DPR juga berawal dari aksi-aksi wakil rakyat dari FPKS.  Di beberapa tempat bahkan dilaporkan bahwa anggota dewan dari PKS dimusuhi oleh yang lain karena sikap kerasnya, terutama dalam menyikapi dana-dana liar yang ‘berseliweran’ di DPR / DPRD.

 

Prestasi yang cukup mengesankan juga dicetak di ranah Pilkada, terutama sekali di tiga propinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Utara.  Pasangan yang diusung oleh PKS di Jawa Barat dan Sumatera Utara sempat tidak diunggulkan, namun berhasil menaklukkan pasangan-pasangan lain yang diusung oleh partai-partai besar seperti PDIP dan Golkar.  Bahkan di Jawa Barat, pasangan HADE berhasil menundukkan dua pasangan lainnya yang diusung oleh begitu banyak parpol.  Kasus DKI Jakarta juga patut dijadikan sebagai catatan meskipun pasangan yang diusung oleh PKS pada akhirnya kalah, karena perolehan suara yang hanya beda sedikit, meskipun pesaingnya didukung oleh belasan partai, termasuk PDIP, Golkar, dan PKB sekaligus.  Terakhir, pasangan yang didukung PKS di Jawa Timur pun mendapatkan suara terbanyak, meskipun masih harus berkompetisi di putaran kedua.  Bagaimana pun, perolehan suara pasangan yang didukung oleh PKS di propinsi yang didominasi warga NU adalah suatu fenomena yang mengejutkan.

 

Meski demikian, PKS menolak untuk bersikap gegabah.  Prestasi yang telah dicetaknya belumlah membuat posisinya aman.  PKS masih membutuhkan koalisi dengan parpol-parpol lain, dan hal ini disadari sepenuhnya oleh jajaran pengurus pusatnya.  Berbeda dengan PKB (versi Gus Dur) dan PDIP yang sejak jauh-jauh hari sudah memproklamirkan pencalonan kembali Gus Dur dan Megawati, PKS bertindak lebih realistis dengan memfokuskan diri pada pemilu legislatif.  Jika perolehan suara PKS mencapai angka 20%, maka PKS akan mempertimbangkan pencalonan kadernya sendiri ke kursi RI-1 dan / atau RI-2.

 

Antara Dakwah dan Politik

Di kalangan umat Muslim sendiri, perdebatan mengenai keterlibatan dakwah dalam politik masih terus berlangsung.  Dakwah yang akan mewarnai politik, ataukah sebaliknya?  Da’i yang berjuang di jalur politik, atau politikus yang bertopeng da’i?  Mengapa harus memperjuangkan ajaran Allah melalui jalur yang tidak Islami (demokrasi)?  Pertanyaan-pertanyaan semacam ini selalu muncul dan membutuhkan jawaban yang pasti.

 

Diskusi mengenai hubungan antara dakwah dan politik dalam iklim demokrasi biarlah kita tinggalkan untuk para ulama yang berkompeten untuk menjawabnya.  Namun yang perlu disayangkan adalah sikap tidak adil sebagian orang dalam memandang dakwah di jalur politik.  Parpol-parpol Islam di Indonesia dipermasalahkan keterlibatannya dalam politik, sementara Mohammad Natsir, Buya Hamka, Hasan al-Banna, Sayyid Quthb dan sebagainya justru dipuji sebagai politikus yang mampu membawa wajah Islam ke ranah politik.

 

Tentunya pegangan kita adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan bukan perbuatan para ulama yang disebutkan tadi.  Kesalahan yang mereka perbuat (dan pasti mereka pernah berbuat kesalahan) tidak mesti ditiru.  Namun permasalahannya terletak justru pada konsistensi penilaian kita : apakah keterlibatan mereka dalam dunia politik itu baik atau buruk?  Jika buruk, maka tidak wajar memuji-muji mereka sebagai politikus yang Islami.  Jika baik, maka dakwah melalui partai politik pun tak boleh dicela, namun tetap wajib diawasi dan dikritisi.

 

Memahami Koalisi

Salah satu masalah besar yang menjadi sumber perdebatan umat Muslim dalam menyikapi parpol-parpol Islam adalah dalam hal koalisi yang pasti terjadi, selama suatu partai belum memperoleh jumlah suara 50% + 1 di legislatif.  Parpol-parpol Islam seringkali dikritisi karena berkoalisi dengan parpol-parpol lain yang dianggap tidak seideologi, sekuler, bahkan dalam beberapa kasus telah bersikap anti-Islam.  Koalisi PKS dalam beberapa kasus dengan Golkar dan PDIP menuai banyak kritik, karena keduanya adalah parpol sekuler.  Akan lebih gawat lagi jika PKS berkoalisi dengan PDS yang basis massanya adalah warga Kristiani.

 

Paling tidak ada dua hal yang perlu dipahami dalam memandang sebuah koalisi politik.  Pertama, koalisi tidaklah permanen, dan takkan pernah permanen.  Koalisi adalah bentuk kerja sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.  Koalisi itu tidak berlaku di luar agenda tersebut dan akan putus setelah tujuannya tercapai.  Untuk menggolkan RUU APP, misalnya, parpol-parpol Islam bersatu padu.  Namun dalam isu-isu yang lain mereka tetap berbeda pendapat.  Tidak ada salahnya pula berkoalisi dengan Golkar dalam menyukseskan pelarangan Ahmadiyah, misalnya.  Demikian pula koalisi dengan parpol sekuler dalam memenangkan kandidat bersama dalam Pilkada tak membuat PKS harus bertanggung jawab atas acara joget dangdut yang digelar oleh rekan koalisinya dalam kampanye, karena koalisinya hanya sebatas memenangkan kandidat bersama, dan bukan dalam joget dangdut.

 

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa koalisi non-permanen semacam ini justru bernuansa hipokrit, plin-plan, dan tidak konsisten.  Namun perlu diingat bahwa tuduhan semacam ini muncul dari perbedaan perspektif, di mana yang satu menilai konsistensi parpol dari komitmennya terhadap rekan koalisi, padahal yang bersangkutan hanya merasa perlu untuk konsisten terhadap agenda politiknya sendiri.  Rasulullah saw. pun tidak melarang kita bekerja sama dan berniaga dengan orang-orang kafir, karena yang demikian itu adalah koalisi dalam agenda muamalah, dan bukan dalam hal aqidah.  Tentunya takkan ada Muslim yang berani menuduh Rasulullah saw. telah bersikap inkonsisten dalam koalisinya.  Kita harus ingat juga bahwa koalisi permanen justru menimbulkan kerancuan.  Jika koalisi dilakukan secara permanen, artinya kedua belah pihak selalu setuju dalam segala hal.  Kalau memang selalu kompak, maka keberadaan banyak parpol justru kehilangan signifikansinya.  Justru karena adanya titik-titik perbedaan yang tidak mungkin dikoalisikan itulah maka orang-orang mendirikan parpol dengan berbagai karakternya.

 

Masalah kedua yang harus diperhatikan dalam masalah koalisi adalah bahwa hubungan koalisi tidaklah sesederhana kelihatannya.  Dalam beberapa kasus, banyak yang menyatakan keprihatinannya karena PKS berkoalisi dengan partai-partai yang berkampanye dengan joget dangdut.  Kita harus memahami kondisi dalam koalisi secara lebih mendalam.  Apakah PKS punya hak untuk melarang parpol lain untuk memberikan dukungan pada pasangan yang diusungnya?  Apakah PKS punya wewenang untuk melarang parpol lain berkampanye dengan caranya sendiri?  Jika PKS memutuskan untuk keluar dari koalisi lantaran perbedaan prinsip tersebut, apakah tindakan ini tergolong produktif atau malah kontraproduktif?  Pada kenyataannya, koalisi cenderung ‘memaksa’ masing-masing parpol pesertanya untuk bersikap toleran terhadap rekan-rekan koalisinya.  Dalam sebuah koalisi, tidak selalu ada partai yang lebih dominan daripada yang lain.

 

PKS Sebagai Tumpuan Harapan

Meskipun menuai banyak kritik (dan memang pantas untuk dikritik), pada kenyataannya PKS tetap dijadikan tumpuan harapan umat Islam.  Banyaknya kritik yang dialamatkan kepadanya justru bisa ditafsirkan sebagai besarnya harapan umat kepada PKS.  Sebagai contoh, ada yang bertanya, “Mengapa PKS harus berkoalisi dengan parpol-parpol sekuler di berbagai tempat, bukannya berkoalisi dengan parpol-parpol Islam saja?”  Pertanyaan ini sebenarnya bisa dibalik menjadi, “Mengapa parpol-parpol Islam di berbagai tempat tidak mau berkoalisi dengan PKS, justru parpol-parpol sekuler yang mau berkoalisi dengannya?”  Pada kenyataannya, pertanyaan yang pertama lebih sering diajukan daripada pertanyaan kedua.  Ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia masih memandang koalisi dari identitas para pesertanya, dan bukan dari agendanya.  Di sisi lain, penilaian ini juga membuktikan bahwa umat Islam – betapa pun tajam kritiknya terhadap PKS – masih menganggap PKS sebagai pihak yang paling mungkin dan mampu menghembuskan angin persatuan diantara parpol-parpol Islam di Indonesia.

 

Di milis INSISTS, misalnya, jika terjadi diskusi tentang ‘parpol Islam’, maka konotasinya pasti merujuk kepada PKS, bukan yang lain.  Jarang sekali pembahasan mengenai parpol Islam menyentuh PBB, PPP, PAN, atau PKB.  Hal ini menunjukkan bahwa di mata sebagian orang (terutama kalangan akademisi), yang diakui sebagai parpol Islam memang hanya PKS, meskipun ia belum bisa memenuhi kriteria ideal dalam pandangan umat Islam.  Ketika pendapat ini saya utarakan di milis INSISTS, ada juga yang berkilah dengan mengatakan bahwa pembahasan mengenai parpol Islam menjadi identik dengan PKS karena memang kader PKS banyak yang tergabung di milis itu.  Pernyataan yang terakhir ini juga bisa menghasilkan kesimpulan bahwa kader PKS-lah yang paling peduli dengan isu-isu pemikiran Islam, dan karenanya, paling banyak kadernya di milis INSISTS.

 

Konon, salah satu sifat paling buruk adalah mengingat-ingat keburukan orang sehingga melupakan kebaikan-kebaikannya yang jauh lebih banyak.  Muslim yang baik pasti tidak mudah melupakan kebaikan saudaranya, dan sebaliknya, paling mudah memaafkan kekurangannya.  Dengan segala kekurangan dan kelemahannya, PKS masih menjadi tumpuan harapan umat Islam Indonesia.  Sudah saatnya kita melestarikan ukhuwah dengan meyakini bahwa tidak ada satu pun manusia atau harakah di kolong langit ini yang tidak membutuhkan koreksi.

 

wassalaamu’alaikum wr. wb.

keracunan,racun lagi-racun lagi

Magetan, KLB Keracunan Makanan
Selasa, 19 Agustus 2008 | 20:34 WIB

MAGETAN, SELASA - Peristiwa keracunan makanan di Ngampel, Madigondo, Kecamatan Takeran, Kabupaten Magetan ditetapkan sebagai kejadian luar biasa. Sampai Selasa (19/8), jumlah warga yang dirawat di puskesmas terus bertambah, bahkan ada yang harus dirujuk ke rumah sakit.  

"Karena jumlah warga yang terkena banyak dan terjadi dalam waktu yang relatif singkat, kami tetapkan kejadian luar biasa, kata Harry Susanto," kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan saat mencek kondisi kesehatan warga di Puskesmas Takeran, Selasa (19/8).

Seperti diberitakan sebelumnya, keracunan makanan ini dipicu oleh makanan yang dimakan warga saat resepsi pernikahan salah satu warga RT 12 Ngampel, Sabtu (16/8).

Karena telah ditetapkan sebagai kejadian luar biasa, Pemerintah Kabupaten Magetan menanggung seluruh biaya pengobatan warga. Penanganan dan pemantauan kesehatan warga Ngampel pun ditingkatkan, salah satunya dengan membuat posko keseh atan di Ngampel.

Tenaga medis dari puskesmas lain di Magetan juga didatangkan untuk membantu perawatan warga. Jumlah perawat ditambah empat orang sedangkan dokter ditambah dua orang. Selain itu, berdasarkan pengamatan, ada lima mobil puskesmas keliling y ang disiagakan di Puskesmas Takeran.

Sejak Selasa pagi, warga Ngampel yang berdatangan ke Puskesmas Takeran untuk dirawat terus bertambah. Mereka baru datang ke puskesmas karena kondisi mereka tidak membaik. Mereka masih merasa mual dan diare.

Jika pada Senin (18/8), hanya 19 warga yang dirawat di puskesmas ini, sampai Selasa (19/8) pukul 18.00 telah bertambah menjadi total sebanyak 38 pasien. Selain di Puskesmas Takeran, ada lima warga yang dirawat di Puskesmas Taji. Ada pula seorang warga bernama Sukat (43), warga RT 12 Ngampel, yang terpaksa dirujuk ke Rumah Sakit Umum dr Sudono di Madiun karena kondisinya setelah dirawat di puskesmas tidak membaik.

Di Puskesmas Takeran, karena tempat tidur yang ada tidak dapat menampung seluruh warga, puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan menambah 15 tempat tidur lipat. Karena masih tidak cukup, sebagian warga terpaksa berbaring di atas tikar atau tempat tidur tipis.  

Selain mereka yang dirawat di puskesmas dan rumah sakit, ada 142 warga yang menjal ani rawat jalan. "Kondisi mereka tidak terlalu parah sehingga tidak perlu rawat inap," kata Kepala Puskesmas Takeran dr Hendro Yuwono.

Monday, August 18, 2008

hai semua

asslamualaikum

salam kenal semua,