Tuesday, September 16, 2008

Mereka Tewas Demi Rp 30.000!

Selasa, 16 September 2008 | 01:55 WIB

Demi uang sebesar Rp 30.000, ribuan orang di Jl Wahidin, Pasuruan, rela berdesak-desakkan hingga menewaskan 21 orang.

Peristiwa tragis itu terjadi saat pembagian zakat yang dimulai pukul 10.00 WIB. Ribuan warga miskin yang datang dari berbagai pelosok desa di sekitar Kota dan Kabupaten Pasuruan itu berebut saling berdesakan guna mendapatkan zakat dengan nilai nominal Rp 30.000 per orang yang diberikan keluarga dermawan H Soikhon di Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo, Kota Pasuruan.

Keluarga Soikhon mengatur para penerima zakat untuk masuk satu per satu ke halaman rumahnya, sehingga ribuan orang yang terkonsentrasi di sebuah gang tak bisa bergerak, bahkan orang yang pingsan pun tidak bisa keluar. Puncaknya adalah 21 orang tewas!

Makin jelas bagi kita, seperti apa rupa kemiskinan yang terjadi di negeri ini. Jelas bukan seperti yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengklaim angka kemiskinan di Indonesia telah mengalami penurunan sebesar 10 juta jiwa selama Indonesia dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jika sebelumnya angka kemiskinan mencapai 40 juta jiwa, saat ini jumlah penduduk miskin di Tanah Air diperkirakan berjumlah 30 juta jiwa.

Kemiskinan tak lagi menjadi mimpi buruk. Ia telah benar-benar menjelma menjadi barisan manusia-manusia tak berdaya yang hadir di mana pun ada remah-remah rezeki, termasuk di rumah keluarga H Saikhon.

Ya, mereka adalah para fakir miskin yang berniat menerima zakat. Sekali lagi zakat, sebuah terminologi yang di dalamnya mengandung kemuliaan hidup berupa kasih sayang terhadap sesama lewat tindakan berbagi.

Zakat adalah rukun ketiga dari Rukun Islam. Secara harfiah zakat berarti "tumbuh", "berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan". Sementara, secara terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan.

Si pemberi zakat jelas orang mampu secara material. Orang yang memiliki niat dan tindakan luhur untuk berbagi dengan sesama dan berharap pahala dari Allah. Adapun si penerima zakat di antaranya adalah mereka yang fakir, yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup. Mereka yang miskin, yang memiliki harta tapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.

Secara teoretis, kemiskinan bisa dipahami sebagai gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.

Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.

Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

Entah gambaran seperti apa yang tepat untuk melukiskan kemiskinan yang melanda masyarakat kita. Gambaran-gambaran di atas boleh jadi telah cukup akurat, tapi melihat fakta yang ada mungkin kata nekat perlu pula ditambahkan, termasuk nekat untuk mati demi tiga lembar sepuluh ribuan.

Saya percaya, sebagian besar yang datang ke rumah keluarga H Saikhon adalah orang-orang yang berniat mulia, berniat mencari sedekah untuk menyambung hidup, menyenangkan orang rumah untuk beli makanan atau membeli pakaian bekas.

Saya juga percaya, Pak Saikhon tulus membagikan sebagian kekayaannya untuk para fakir miskin. Yang jadi soal, kenapa ia membagi sendiri zakatnya itu kepada ribuan orang.

Mungkin benar pendapat pengamat sosial Prof DR M Ali Haidar MA yang menilai musibah yang mengenaskan itu menunjukkan ketidakpercayaan orang yang berzakat kepada institusi yang menangani zakat. "Ketidakpercayaan itu mendorong orang yang berzakat langsung membagikan sendiri zakatnya," kata guru besar Universitas Negeri Surabaya itu.

Maklumlah, salah satu "penyakit gawat" yang terus mewabah pada bangsa ini adalah hilangnya kepercayaan orang per orang dan kepercayaan orang terhadap institusi, termasuk institusi negara.

Orang belajar pada pengalaman, itulah jawabnya. Pada hari-hari yang kita lewati, kian susah kita menemukan tauladan luhur dari para pemimpin bangsa ini. Yang kita dapati adalah contoh buruk bagaimana para tokoh yang mewakili kita justru bertindak deksura. Bagaimana para pemimpin yang mengatur kehidupan bernegara kita hidup berfoya-foya. Dan, mereka yang kita percaya sebagai imam hidup kita justru membawa kehidupan makin suram.

Menyakitkan memang. Apalagi ini terjadi saat umat Islam sedang menjalani ibadah puasa. Apalagi ini terjadi di kala para tokoh sedang riuh rendah menawarkan janji-janji manis dalam rangka menghadapi pemilu 2009. Apalagi ini terjadi di bumi gemah ripah... loh kok begini. Hmmm, saya benar-benar tak mampu meneruskan ujar-ujar Jawa yang hebat mengenai negeri kita yang makmur jibar-jibur itu. Terlalu getir buat saya mendapati fakta sauadara-saudara kita tewas hanya untuk uang setara dengan harga tiga bungkus rokok. 

Monday, September 1, 2008

Antara Tradisi dan Kemanusian "5 Frauen werden lebendig begraben/5 perempuan dikubur hidup-hidup"

Fünf Frauen in Pakistan lebendig begraben

Abgeordneter verteidigt Ehrenmorde: „Jahrhundertealte Tradition“

Was in westlichen Zivilisationen selbstverständlich ist, kostete fünf pakistanische Frauen das Leben: Weil sie sich ihre Ehemänner selbst aussuchen wollten, wurden sie bei lebendigem Leib begraben!

Medien im Südwesten des Landes berichten: Zunächst wurde auf die Frauen, drei von ihnen noch Jugendliche, geschossen – dann warf man sie ins Grab und schaufelte Erde über sie, obwohl sie noch atmeten.

Unfassbar – der pakistanische Abgeordnete Israr Ullah Zehri trat öffentlich für die sogenannten Ehrenmorde ein: „Das sind jahrhundertealte Traditionen, und ich werde sie weiter verteidigen.“

Zehri hatte im Parlament für einen Eklat gesorgt, als er den verblüfften Abgeordneten erklärte, dieser Brauch des Baluch-Stammes helfe dabei, Obszönitäten zu stoppen: „Nur wer sich der Unmoral hingibt, muss Angst haben.“ Er rief seine Kollegen auf, nicht so viel Aufhebens um diese Angelegenheit zu machen. Mehrere Abgeordnete sprangen protestierend auf und verurteilten die Morde als barbarisch.

Die ehemalige pakistanische Frauenministerin Nilofar Bakhtiar, die sich für Gesetze gegen „Ehrenmorde“ eingesetzt hat, zeigte sich schockiert: „Wir bewegen uns zum Ausgangspunkt zurück.“

Menschenrechtsgruppen warfen örtlichen Behörden vor, sie hätten versucht, den Zwischenfall zu vertuschen. Die Asiatische Menschenrechtskommission berichtete, einer der Täter solle mit einem hohen Beamten in der Provinz verwandt sein.

In Pakistan gibt es eine schleichende Epidemie von Verbrechen im Namen der Familienehre – Zehntausende Frauen sollen Opfer von Missbrauch bis hin zu Mord geworden sein. Allein in den Jahren 2001 bis 2004 registrierte das pakistanische Innenministerium mehr als 4100 „Ehrenmorde“.

--------------------------------------------------------------

Terjemahan

Di Pakistan Lima Orang Perempuan dikubur hidup-hidup
Untuk mempertahankan "Tradisi ratusan tahun" seorang anggota parlement menghukum "kubur hidup-hidup"5 orang wanita
 
yang di negara barat(modern) dianggap wajar,telah menelan 5 korban perempuan ; hanya karena mereka mau mencari pasangan hidupnya sendiri,mereka dihukum "dikubur hidup-hidup"
Medi berita di negara bagian barat daya memberitakan ; pertama-tama mereka (tiga dari mereka masih remaja)dilempari,terus dilemparkan ke dalam lubang,selanjutnya mereka ditimbuni tanah meskipun mereka masih bernafas.
Tak bisa dipercaya - anggota Parlement Pakistan Israr Ullah Zeri memberi sambutan di muka umum untuk acara yang disebut "pembunuhan untuk harga diri","ini adalah tradisi ratusan tahun,dan saya akan mempertahankannya".
Zehri membuat rusuh di Parlement,ketika ia menjelaskan kepada Parlement bahwa adat ini untuk menghentikan pencabulan dan kemaksiatan."hanya orang yang membiarkan kemaksiatan harus merasa takut"katanya.Dia mengajak rekan-rekan nya untuk tidak terlalu banyak menentang keputusan ini,banyak dari anggota parlement lainnya yang terlonjak memprotes,dan mengutuk pelaksanaan hukuman itu sebagai pembunuhan yang biadab.
Bekas menteri Peranan Wanita Pakistan Nilofar Bakhtiar,yang telah berusaha menentang "pembunuhan untuk harga diri",tampak terkejut,"kita bergerak mundur dari titik jalan keluar"
HAM  menuduh pemerintah setempat,telah berusaha untuk menutupi kejadian ini.HAM bagian asia melaporkan,salah seorang pelaku memiliki hubungan keluarga dengan salah seorang pejabat tinggi di Provinsi itu.
di pakistan terdapat epidemi kejahatn yang mengatasnamakan "harga diri keluarga" ; puluhan ribu perempuan menjadi korban penyelewengan dan bahkan sampai ke pembunuhan,di tahun 2001-2004 sendiri ter-registrasi lebih dari 4100 korban "pembunuhan untuk harga diri" demikian dilaporkan departement dalam negeri Pakistan