Saturday, August 21, 2010

Salah Kaprah Pemahaman Ttg Dakwah

Dalam dialog di acara Mata Najwa, Dr. Surahman Hidayat menjelaskan beberapa isu penting seputar Munas PKS II di Ritz Carlton. Salah satu poin yang ditegaskan oleh Surahman ialah: PKS merupakan partai dakwah dan tetap konsisten dengan dakwah. Salah satu pandangannya, dakwah berlaku untuk semua kalangan, maka PKS membuka diri terhadap semua golongan, termasuk non Muslim.

Kalau kita belajar tentang dakwah, maka disana ada beberapa elemen fundamental dakwah Islam, yaitu: Dai (penyeru dakwah), Mad’u (obyek dakwah), Risalah (pesan dakwah yang disampaikan), dan Manhaj Dakwah (metode menyampaikan dakwah). Belajar dakwah dimanapun, insya Allah tidak akan keluar dari 4 aspek fundamental ini. Dan untuk menilai apakah suatu istilah “dakwah” telah diterapkan dengan baik atau tidak, juga bisa diukur dengan 4 aspek tersebut.

Secara umum, konsep dakwah Islam dijelaskan sebagai berikut:

“Seorang dai harus memahami nilai-nilai Islam, memahami ilmu, dan telah mengamalkan ilmunya sebelum menyeru orang lain. Selain itu, seorang dai juga harus berakhlak karimah. Obyek dakwah adalah siapa saja yang diajak menuju jalan Islam. Bisa jadi, mereka adalah kalangan non Muslim, kalangan belum beragama, atau kalangan Islam yang lemah iman. Obyek dakwah dimulai dari pihak terdekat yaitu keluarga, sampai pihak terjauh. Materi utama dakwah Islam ialah mengajak manusia beribadah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya dan menjauhkan diri dari segala kemusyrikan. Selain itu, dakwah juga berisi ajakan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Cara berdakwah seperti yang diajarkan oleh Nabi Saw dilakukan secara hikmah, bertahap, dan disesuaikan keadaan obyek dakwah.”

Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana cara PKS dalam menerapkan konsep dakwah Islam ini. Apakah mereka benar-benar berjalan di atas rel dakwah yang lurus, atau istilah “dakwah” itu sendiri sudah mengalami reduksi (bahkan redefinisi) yang terlalu jauh? Mari kita lihat sesuai fakta-fakta yang ada selama ini.

[1] PKS selama ini sangat bernafsu meraih kekuasaan, baik jabatan wakil presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, dan lainnya. Sementara tujuan mendakwahkan tauhid dan memberantas kemusyrikan, mereka abaikan. Beberapa waktu lalu, mereka membuat Munas di Bali dan mengucapkan “Selamat Hari Raya Galungan”. Selain itu, Ketua MPR Hidayat Nurwahid, pernah menjadi pemimpin upacara pemakaman Nurcholish Madjid di TMP Kalibata Jakarta. Bahkan, saat Gus Dur meninggal, PKS ikut mendukung usulan gelar “Pahlawan” bagi Gus Dur. Dalam kasus Ahmadiyyah, suara PKS nyaris tidak terdengar sama sekali.

[2] Para kader PKS tidak mencerminkan akhlak para dai, tetapi lebih menonjol karakter politisinya. Agenda utama kerja mereka ialah memperbesar raihan suara, bukan mengajak manusia mengerti Islam, mengamalkan Islam, dan istiqamah di atas Islam. Kalau mendapat kritik, masukan, koreksi, bukannya bersyukur, tetapi selalu berkelit dan membela diri.Tokoh-tokoh PKS banyak yang berangkat dari tokoh agama, ustadz, doktor bidang Syariah, dll. Tetapi karya-karya mereka di bidang keagamaan, dakwah Islam, atau kajian fiqih Islam, bisa dibilang minim. Sangat berbeda dengan ketika mereka belum berpartai dulu. Dr. Hidayat Nurwahid sebagai contoh. Dulunya pakar akidah, disertasinya tentang paham Syi’ah. Tetapi pernahkah kita kini membaca karya-karya dia di bidang studi Islam. Seolah, kalau sudah masuk dunia politik, ilmu dicerai “talaq daim”. (Ini realitas apa ini? Masak ada aktivis gerakan Islam mem-pensiun-kan ilmu? Anda tidak disebut pejuang Islam kalau memutus koneksi dengan ilmu).

[3] Risalah gerakan yang diperjuangkan PKS lebih kental bernilai politik daripada perjuangan dakwah. Bahkan risalah KEADILAN yang dulu mereka asaskan, saat ini tidak karuan bentuknya. Adakah komitmen PKS untuk menegakkan keadilan, membela orang-orang kecil yang dizhalimi karena mengambil jagung, kapuk randu, kayu, coklat, semangka, dll.? Adakah komitmen mereka dalam membela aktivis Islam dari penindasan HAM oleh Densus88 dan Polri, menggugat Mega Skandal BLBI, memberantas korupsi, melawan mafia hukum, menggugat ekonomi liberal yang menyengsarakan rakyat, dll. tidak ada. Andi Rahmat yang suaranya sangat lantang dalam Pansus Hak Angket Bank Century, saat ini kesulitan menyembunyikan wajahnya. Malah pemimpin PKS mengklaim, partai mereka sebagai backbone koalisi bersama Partai Demokrat.

[4] PKS sangat nafsu ingin memperbesar perolehan suara. Seolah, mereka meyakini bahwa besar-kecilnya suara sangat menentukan besar-kecilnya Keridhaan Allah kepada mereka. Atau mereka terus bermanuver dalam rangka meraih sebanyak-banyaknya porsi kekuasaan. Untuk tujuan itu mereka kesankan diri mereka pluralis, terbuka, moderat, Islam universal, rahmatan lil ‘alamiin, dst. Bahkan tidak jarang, PKS menyakiti hati pendukung mereka sendiri dengan membuat banyak hal yang melanggar Syariat. Demi memperoleh tambahan suara baru, mereka abaikan dukungan yang sudah ada dengan mengesankan diri sebagai “partai pluralis”. Hal ini jelas tidak sesuai dengan tujuan dakwah Islam, untuk membebaskan manusia dari kegelapan menuju jalan terang.

Dari sini tampak jelas, bahwa PKS telah menyalah-artikan makna DAKWAH itu sendiri. Dakwah yang mereka bina tidak berakar dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Mereka membelokkan makna dakwah itu ke arah pengertian: “Kendaraan untuk mencapai kekuasaan, bagaimanapun caranya.” Hal ini adalah salah, salah, dan merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip dakwah Islam.

Sebagai catatan penting, konsep dakwah seperti yang dibahas di atas ialah konsep yang berlaku secara umum. Hal ini mudah dipahami oleh siapa saja yang belajar ilmu dakwah. Namun dalam konteks Harakah Islam (gerakan Islam), tuntutan yang diminta jauh lebih berat dari dakwah secara umum. Kalau dakwah dalam tataran menyeru manusia ke jalan Islam; maka Harakah Islam, memperjuangkan Islam itu sendiri agar menang. Sekedar contoh, KH. Zainuddin MZ., beliau dianggap sebagai seorang dai yang berdakwah. Tetapi Al Ikhwan Al Muslimun di Mesir, mereka berjuang menegakkan peradaban Islam, lebih dari sekedar berdakwah.

Para elit politik PKS, termasuk Dr. Surahman Hidayat, harus jujur kepada para pengikutnya. Mereka harus menjelaskan makna istilah dakwah itu secara lurus, sesuai ajaran Islam. Mereka harus menjelaskan pengamalan dakwah yang benar dalam konteks politik. Jangan sampai kata dakwah itu digunakan hanya untuk mengelabui manusia. Mereka mengklaim sebagai dai, padahal realitasnya memakai dakwah untuk kendaraan politik praktis.

Marilah kita berjuang menjadi SOLUSI KEBAIKAN bagi Ummat. Bukan malah menyulitkan hidup mereka dengan berbagai penyimpangan.

Wallahu A’lam bisshawaab.

AMW.

Catatan: Saudara @ Dede Arif Rahman, terimakasih atas koreksi dan masukan dari Anda. Sejatinya Akhi, sikap kami itu lunak kepada PKS. Hanya ketika manuver-manuver partai ini membahayakan para pengikutnya yang notabene Muslim, dan membahayakan kaum Muslimin lainnya, maka kritikan pedas pun dilontarkan. Coba baca lagi artikel berikut ini: PKS, Kami Sudah Mengingatkanmu.

sumber: http://abisyakir.wordpress.com/2010/06/25/memahami-istilah-dakwah/

Thursday, August 19, 2010

Ust Daud Rasyid: Partai Islam Memaksakan Diri (Takalluf Politik)

Kata `takalluf’ berasal dari akar kata `ka-la-fa’ yang berarti beban. Dari akar kata ini, berkembang menjadi `kallafa’ dan taklif (tugas), selain berkembang menjadi takallafa dan takalluf. Yang terakhir ini dapat diartikan sebagai memaksakan diri untuk memikul kewajiban di luar batas kemampuan. Di dalam Islam, takalluf tergolong sifat yang tercela alias tak terpuji.

Takalluf berbeda dengan taklif yang berarti tugas. Taklif adalah amanah yang dipikulkan oleh pihak yang lebih tinggi untuk dijalankan sesuai dengan batas kemampuan. Biasanya yang menugaskan itu adalah Syari’ (Allah SWT dan rasul-Nya), seperti shalat, shaum dan jihad. Tidak kita dapatkan Syari’ membebankan kewajiban kepada manusia di luar batas kemampuannya. Prinsip ini diterangkan Allah di dalam Al Qur’an (QS. al-Baqarah: 286), dimana Allah tidak membebankan kepada setiap diri kecuali sebatas kemampuannya.

Praktik takalluf tidak hanya tercela dalam soal-soal dunia, tapi juga tercela dalam konteks beragama. Sebab sikap ini tergolong memaksakan diri.Dalam konteks dunia pun demikian keadaannya. Kalau seorang hanya mampu melakukan tiga pekerjaan, maka tidak boleh memaksakan empat atau lima pekerjaan.

Jika persoalan ini kita tarik ke arena politik, maka masalahnya akan lebih kompleks. Misalnya, seseorang atau partai berambisi untuk merebut kekuasaan dalam pilkada, sementara ia tidak memiliki modal yang cukup secara finansial untuk berlaga dalam perlombaan itu. Kemudian orang itu menggaet calon lain yang bisa menutup kekurangannya.

Di sinilah muncul berbagai persoalan baru. Apakah orang yang digaet ini mempunyai visi dan misi yang sama dengan orang itu atau hanya seorang oportunis.

Dari politik melayani masyarakat, menjadi politik memanfaatkan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat pun dilakukan dengan motivasi untuk mendapatkan dukungan suara. Di sini sudah mulai menyentuh wilayah akidah. Sulit memisahkan antara niat Lillahi Ta’ala dengan niat mencari simpati pemilih. Padahal dalam melakukan suatu amal, Allah tidak menerima niat yang mencampurkan keduanya.

Biasanya setelah terpilih, kedua figur itu tak bertahan lama untuk sejalan. Masing-masing memilih jalannya sendiri-sendiri. Yang terjadi kemudian adalah pecah kongsi. Kalaupun sejalan, maka di sana akan terjadi banyak pergeseran cara berpikir dan menilai. Yang tadinya
sangat menjaga batas-batas halal-haram, sekarang sudah tidak mempersoalkan itu lagi. Yang tadinya teriakan “itu haram” begitu keras, maka teriakan itu sekarang sudah sayup-sayup hampir tak kedengaran.

Para anggota dikerahkan menghimpun dana sebanyak-banyaknya, tak peduli dari manapun sumber dana itu didapat: dari koruptorkah, pengusaha judikah, bandar narkobakah. Ambil saja uangnya, lalu konon katanya untuk mendanai dakwah. La hawla wala quwwata illa billah. Kalau pelakunya orang lain, perbuatan itu haram dan kotor. Tapi kalau pelakunya kita, ia menjadi halal. Fiqh apakah ini? Inilah namanya fiqh berdasarkan syahwat. Na’uzubillah.

Belum lagi kehidupan beberapa aktivis yang mendadak berubah menjadi borjuis. Memiliki beberapa mobil mewah, perhiasan mewah, sementara pekerjaan resmi sebagai wakil rakyat bisa dihitung berapa pemasukannya yang halal dan logis. Lalu dari manakah sumbernya?

Perjuangan seperti ini tidak bakal direstui oleh Allah SWT dan mereka ini tidak lagi pantas membawa-bawa nama dakwah.

Padahal Nabi saw jelas-jelas melarang sumber dana yang haram bagi setiap aktivitas seorang Muslim, seperti hasil jual-beli anjing, hasil perdukunan, dan upah pelacuran.

Pernahkah Rasul menggunakan dana dari kafir Quraisy dan musyrikin lainnya untuk perjuangan Islam? Tak satu pun sumber yang menyebutkan bahwa Nabi pernah menerima bantuan dari kaum kafir. Bahkan ketika seorang musyrik menawarkan diri untuk ikut dalam sebuah jihad, Nabi saw mengujinya, apakah Anda beriman kepada Allah? Nabi spontan menolaknya dengan mengatakan, “Aku tak akan pernah meminta bantuan kepada musyrik.” Kenapa sensitivitas terhadap halal dan haram ini terus melemah?

Ini semua gara-gara melakukan tindakan takalluf dalam berpolitik. Apa beratnya mengakui jika memang tidak punya dana untuk ikut pilkada? Bersikaplah sebagai pemain pasif, pengontrol dan pemberi nasehat. Tidak akan ada pihak yang menyalahkan sikap ini. Tetapi, jika memaksa maju dengan segala keterbatasan, di ujung ia akan dinilai. Inilah contoh orang-orang yang memaksakan dirinya.