Sunday, October 31, 2010

Kalender Da'wah Islam 2011 (menerima pesanan)

Category:   Other/General

Telah Terbit
Kalender Da'wah Islam 2011



Kalender Da’wah Islami Haniefa Kreasi penuh dengan pesan moral, do’a dan lain-lain. Sangat bermanfaat dimiliki oleh pribadi muslim, baik untuk keluarga di rumah, di kantor maupun di sekolah. Cocok untuk promosi dan penggalangan dana pembangunan masjid, dll.



SPESIFIKASI

1. Ukuran Kalender 38 x 54 cm
    isi 6 lembar / 2 bulanan
2. Bahan Kertas Art Paper 100 gr
    desain full color

TERSEDIA 4 PILIHAN GAMBAR:

1. KALIGRAFI 
2. MASJID 
3. PEMANDANGAN ALAM
4. ANAK



Harga
Rp. 12.000,- /eks

nb: DAPAT DI BERI NAMA KANTOR, ORGANISASI, UNIVERSITAS, SEKOLAH, DLL DENGAN MENAMBAH BIAYA SABLON SEBESAR RP. 800,-- TIAP KALENDER. ADA HARGA KHUSUS UNTUK PEMBELIAN DIATAS 100 EXM.

*HARGA BELUM TERMASUK ONGKOS KIRIM

===============================================
Pemesanan: 0856.1471.343

Muslimland Distro | Toko Buku Islam Sederhana
Ada Kitab Hadits, Kitab Tafsir, Buku-buku Islam, Buku Pergerakan, Buku Jihad, Buku Islam Langka, mp3 Murottal, mp3 Nasyid, Novel Islam, VCD Jihad, Majalah Islam, Majalah Jihad, dll. 

Thursday, October 28, 2010

“Orang mu’min yang berbaur di tengah manusia dan dia sabar terhadap sikap buruk (penindasan) mereka adalah lebih baik daripada orang mu’min yang tidak berbaur dengan manusia dan tidak sabar terhadap sikap buruk mereka”

Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘aalamiin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya.

‘Amma ba’du:

Ikhwani fillah… materi kali ini kita akan membahas kandungan hadits dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

“Orang mu’min yang berbaur di tengah manusia dan dia sabar terhadap sikap buruk (penindasan) mereka adalah lebih baik daripada orang mu’min yang tidak berbaur dengan manusia dan tidak sabar terhadap sikap buruk mereka” (HR. Ibnu Majah, hasan, dari Ibnu Umar, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan At Tirmidziy)

Hadits ini sederhana tapi kandungannya sangat besar dan sangat berkaitan dengan masalah Millah Ibrahim. Di sini Rasul saw mengatakan : “Orang mukmin yang berbaur di tengah manusia dan dia sabar terhadap sikap buruk (penindasan) mereka…” dalam arti dia tampil di hadapan manusia dan berinteraksi dengan mereka, tidak mengurung diri atau tidak mengasingkan diri. Dia sabar terhadap berbagai sikap buruk yang ditimbulkan oleh kaumnya.

Kata sabar tidak muncul kecuali setelah terjadi sesuatu yang mendorong orang tersebut untuk bersabar. Maksudnya adalah orang mukmin yang berbaur dengan manusia dan dia mendakwahkan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala, menjaharkan dakwah tauhid yang dia anut, dia menampakkan Millah Ibrahim. Dan tentunya ketika orang menampakkan Millah Ibrahim akan mendapatkan penindasan daripada manusia.

Sebagaimana kita tahu bahwa sejarah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau menampakkan Millah Ibrahim karena diperintahkan Allah, maka yang terjadi adalah beliau dilempari, beliau dicekik, beliau juga dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang sangat keji. Para shahabat pengikutnya seperti Bilal di siksa, Sumayyah dibunuh, Yassir dibunuh, Amar disiksa hingga patah tulang rusuknya, Khabab disiksa, dan shahabat yang lain -karena mereka tidak tahan dengan berbagai penindasan yang dilakukan orang-orang kafir Quraisy-, maka mereka diizinkan untuk hijrah ke Habasyah (Etiophia). Ini semua terjadi karena mereka menampakkan Millah Ibrahim.

Jadi di sini maksudnya adalah, bahwa ketika seseorang tampil di hadapan manusia dan dia ingin mendapatkan predikat orang mu’min yang mendakwahkan dienullah yang diberikan keutamaan seperti dalam hadits di atas, maka dia harus tampil dengan menampakkan Diennya, mengikuti uswah (teladan) para rasul sebagaimana yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan :

“Sesungguhnya telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia saat mereka berkata di hadapan kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran)kalian dan nampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja”. (Al Mumtahanah : 4)

dan firman-nya Subhanahu Wa Ta’ala:

Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ”Ikutilah  Millah Ibrahim seorang yang hanif”, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.” (An Nahl : 123)

Dalam ayat-ayat tersebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mentauladani mereka, untuk mengikuti mengikuti Millah Ibrahim ”Ikutilah  Millah Ibrahim seorang yang hanif”.

Millah Ibrahim adalah apa yang dinyatakan dalam surat Al Mumtahanah: 4 tadi. Di dalamnya Allah memerintahkan kita untuk menyatakan keberlepasan diri di hadapan kaum musyrikin atau di hadapan orang-orang kafir (Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah). Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengedepankan keberlepasan diri dari para pelakunya daripada keberlepasan diri dari kemusyrikan mereka, karena bisa saja ada orang yang berlepas diri dari kemusyrikan mereka akan tetapi belum berlepas diri dari pelakunya.

Allah menekankan keberlepasan diri dari orangnya, karena jika berlepas diri dari orangnya maka otomatis akan berlepas diri perbuatan musyriknya, akan tetapi jika orang berlepas diri dari perbuatan kemusyrikannya maka belum tentu dia berlepas diri daripada orangnya. Dan ini adalah realita yang bisa kita saksikan, dimana banyak sekali orang berlepas diri dari kemusyrikan, akan tetapi mereka belum bara’ (berlepas diri) dari para pelakunya. Jika belum bara’ dari para pelakunya berarti belum merealisasikan Millah Ibrahim. Bahkan dalam banyak ayat Al Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mendahulukan keberlepasan diri dari para pelaku kemusyrikan sebelum berlepasa diri dari kemuyrikannya itu sendiri, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tentang perkataan Ibrahim ‘alaihissalam :

“Dan saya menjauhi kalian dan menjauhi apa yang kalian seru selain Allah” (Maryam: 48 )

Yang didahulukan adalah berlepas diri dari “kum” (kalian), yaitu dari orangnya atau para pelakunya lalu kemudian berlepas diri dari perbuatannya. Ayat berikutnya adalah firman Allah :

“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah…” (Al Kahfi : 16 )

Millah Ibrahim adalah menampakkan keberlepasan diri dari kaum musyrikin dan dari perbuatan kemusyrikan atau kekafiran mereka. Di sini Allah mengedepankan keberlepasan diri dari orangnya terhadap keberlepasan diri dari perbuatan kemusyrikannya, supaya tidak ada orang yang mengaku telah berlepas diri dari kemusyrikan, akan tetapi dalam realitanya dia tidak berlepas diri dari para pelakunya.

Kemudian selanjutnya ayat “kami ingkari (kekafiran) kalian”, adalah mengingkari perbuatan kemusyrikan atau pengingkaran terhadap ajaran mereka. Ayat ini juga memakai khithab “kum” (kalian), maka berarti orang yang diseru ada di hadapan. Pengingkaran terhadap ajaran-ajaran syirik, falsafah-falsafah syirik, sistem-sistem syirik, hukum-hukum syirik, dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran Laa ilaaha illallaah.

Ayat “dan nampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja”. Yang dimaksud nampak adalah diluar, bukan di dalam hati. Allah juga mendahulukan penampakkan permusuhan daripada kebencian, karena bisa saja orang mengklaim bahwa dia membenci kemusyrikan, tapi ternyata realitanya dia tidak memusuhi pelakunya sehingga dia tetap berteman dekat dengan para pelakunya. Tapi jika orang memusuhi maka sudah pasti dia membencinya.

Ketika mempraktekkan Millah Ibrahim ini, di mana kita menyatakan keberlepasan dari itu semua di hadapan kaum musyrikin, dan ketika tampil dakwah di forum lalu kita nyatakan ini semua di hadapan mereka, dan ketika menjelaskan hal ini di hadapan mereka, maka yang akan ada adalah penerimaan yang total dan penolakan yang total juga. Ketika kita menampakkan sikap permusuhan maka mereka juga akan menampakkan sikap permusuhan, sehingga yang terjadi adalah penindasan dari mereka bila mereka memiliki kekuasaan…

Ketika ada penerimaan dan ada penolakan, maka yang akan terjadi adalah tafriq (pecah belah) antara dua kelompok, oleh sebab itu Rasulullah disifati oleh Jibril ‘alaihissalam dalam hadits Al Bukhariy: “Muhammad memecah belah di antara manusia” dan dalam riwayat yang lain “Muhammad pemecah belah di antara manusia”.

Jika ada satu keluarga kafir, lalu di antara salah satu anggota keluarganya ada yang menerima tauhid, sedangkan konsekuensi tauhid adalah adanya keberlepasan diri, permusuhan, dan pengingkaran dari perbuatan kekafiran atau kemusyrikan, maka yang akan terjadi ketika tauhid ditampakkan adalah permusuhan, kebencian, dan perpecahan di antara keluarga tersebut. Suami yang menerima tauhid akan pisah dari isterinya yang kafir, atau ayah yang kafir pisah dari anaknya yang menerima tauhid. Oleh karena itu juga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dtuduh sebagai “tukang sihir lagi pendusta”, dikarenakan di antara pengaruh sihir adalah memecah hubungan suami isteri.

Itulah peristiwa yang menimpa orang-orang terdahulu, juga yang menimpa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah ketika dalam kondisi tertindas dan belum memiliki masyarakat yang mendukungnya. Oleh karena itu ketika beliau melihat keluarga Yassir yang sedang ditindas, beliau mengatakan: “Sabarlah wahai keluarga Yassir, …….”. Keluarga Yassir diperlakukan seperti itu karena menampakkan “tauhid”, Millah  Ibrahim.

Jadi kata sabar dalam hadits “Orang mukmin yang berbaur di tengah manusia dan dia sabar terhadap sikap buruk (penindasan) mereka adalah lebih baik …” adalah setelah menampakkan Millah Ibrahim.

Ketika orang tampil di hadapan masyarakat, sedangkan dia memposisikan dirinya sebagai du’at ilallaah, dia berada di posisi yang memberikan bayan, maka kewajiban yang pertama bagi dia adalah menjelaskan hakikat dien ini atau ajaran Allah yang sebenarnya yaitu tauhid (Laa ilaaha illallaah) al kufru bit thaghut wal iman billah serta konsekuensi-kensekuensinya, karena permasalahan sudah di depan mata dan karena kita hidup di negeri yang seperti ini,  ia harus siap menerima apapun  konsekuensi yang mungkin akan menimpanya. Inilah penjelasan yang dibutuhkan oleh masyarakat, yaitu penjelasan akan Laa ilaaha illallaah, hakikat thaghut dan rinciannya.

MAKA bila dia tidak menjelaskan hakikat dien ini di hadapan mujtama (masyarakat) padahal dia memposisikan dirinya sebagai orang yang tampil di atas mimbar yang mana masyarakatnya selalu menunggu apa yang dia ucapkan dan masyarakat sangat membutuhkan penjelasan yang segera, namun ketika dia tidak menjelaskannya karena sebab apa saja, maka itu adalah kitman (menyembunyikan ilmu), sedangkan kita tahu posisi orang yang menyembunyikan ilmu ketika orang sangat membutuhkan penjabarannya adalah sebagaimana yang Allah firmankan :

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan kepada kamu berupa bukti-bukti yang nyata tentang kebenaran dan petunjuk setelah Kami jelaskan hal itu kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh setiap makhluk yang dapat melaknati” (Al Baqarah : 159)

dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan :

“Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu terus dia menyembunyikannya maka dia diikat dengan kendali dari api neraka” (HR. Abu Dawud)

Sedangkan permasalahan yang paling dibutuhkan oleh masyarakat pada zaman sekarang ini dan yang paling utama adalah masalah tauhid, karena itu adalah pertanyaan yang ada disetiap benak manusia, dan bila dia tidak mejelaskannya maka dia masuk ke dalam ancaman ayat dan hadits di atas tadi.

Dan orang yang lebih parah dari orang yang kitman ini adalah orang yang memberikan pengkaburan al haq di hadapan manusia. Dia berada pada posisi sebagi orang yang memberikan bayaan (penjelasan) atau sebagai du’at ilallah, kemudian dia memberikan pengkaburan antara al haq dengan al bathil di hadapan manusia. Bila saja orang yang kitman (menyembunyikan) masuk ke dalam ancaman ayat di atas : “itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh setiap makhluk yang dapat melaknati”, sedangkan orang yang melakukan talbis (pengkaburan atau mencampurkan al haq dengan al bathil) maka ancamannya lebih keras dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Seperti ulama-ulama yang memberikan pengkaburan di hadapan manusia tentang status thaghut dan ansharnya, dengan cara membela-bela mereka atau mengutarakan syubhat-syubhat untuk menetapkan keislaman mereka dan untuk membentengi dari pengkafiran terhadap mereka, maka ini adalah ulama yang melakukan talbis di hadapan manusia.

Selanjutnya, jika orang mukmin atau du’at itu tidak mampu untuk berdiri dalam posisi orang yang memberikan penjelasan kepada manusia, karena dia tahu konsekuensinya sangat berat dan belum siap untuk memikulnya, maka daripada dia terjatuh ke dalam kitman atau ke dalam talbis, maka lebih baik dia mundur atau turun dari mimbar, dia masuk ke dalam rumah untuk mengurusi diri dan keluarga atau pergi ke lereng gunung. Inilah adalah maksud dari lanjutan hadits “…orang mukmin yang tidak berbaur dengan manusia dan tidak sabar terhadap sikap buruk mereka”.

Ini adalah orang yang tidak tampil di hadapan manusia, tapi dia sibuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya dengan tetap komitmen di astas tauhid, tidak berbaur dengan manusia, dia adalah golongan orang mu’min yang selamat. Dan ini ada dua macam :

Pertama: yaitu orang yang mengurung diri di rumahnya dan menjauhkan keluarganya dari sarana-sarana kekufuran dan kemusyrikan, dia memfokuskan untuk mempertahankan tauhid bersama keluarganya. Dia menyadari ketika mau menjaharkan dia tidak siap dengan segala resiko tadi, oleh karena itu dia mengurusi dirinya sendiri di rumahnya. Ini adalah orang mu’min, akan tetapi tingkatannya lebih rendah daripada orang mu’min yang pertama yang mendakwahkan tauhid dengan jelas dan siap menanggung segala resiko yang akan menimpanya.

Kedua: Yaitu orang mukmin yang mempertahankan tauhidnya dengan cara pergi ke lereng-lereng gunung, dia mengasingkan diri dari manusia-manusia yang rusak, dia mengurusi kambing-kambingnya. Orang mu’min ini tingkatannya sama dengan orang mukmin yang mengurus diri dan keluarganya di dalam rumahnya. Orang mu’min ini adalah seperti apa yang dikatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam :

“Hampir saja harta orang muslim paling baik adalah kambing-kambing yang dia bawa pergi ke lereng-lereng gunung, dia lari mempertahankan diennya”. (HR. Abu Dawud)

dan dalam hadits:“Jika kamu sudah melihat hawa nafsu yang diikuti, kikir yang ditaati, dan orang merasa bangga dengan pendapatnya, maka uruslah urusan kamu pribadi dan tinggalkan urusan orang umum”

Kedua golongan mukmin yang mencari selamat ini jauh lebih baik dari pada orang-orang atau para du’at dan ulama yang melakukan kitman atau talbis. Akan tetapi yang lebih utama dari kedua golongan mukmin ini adalah orang yang menjaharkan Millah Ibrahim di tengah masyarakatnya.

Jadi, jika kita ingin tampil di forum di hadapan manusia, maka kita harus menjaharkan dan menyampaikan tauhid, karena hal ini adalah pertanyaan yang paling dibutuhkan oleh manusia, karena memang mereka hidup seperti pada kondisi Rasulullah di Mekkah, di mana tidak ada Daulah Islamiyyah yang menaungi dan kaum muslimin berada di bawah kungkungan penguasa thaghut yang kafir.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan (aku telah diperintah): Hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan tulus dan  ikhlash dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik” (Yunus: 105)

Aimmatud Dakwah Tauhid Najdiyyah ketika menjelaskan ayat-ayat ini, mereka mengatakan : “Ayat-ayat ini menjelaskan perihal dakwah ilallah dan membedakan diri dari kaum musyrikin serta menjauhi mereka, menjihadi mereka dengan hujjah dan lisan dan dengan pedang dan tombak”, kemudian mereka mengatakan : “penjelasan ini (yaitu menjelaskan pentingnya menampakkan perbedaan dengan kaum musyrikin dan dalam mengajak mereka kepada Allah) di dalamnya banyak manusia tergusur ke dalam keterpurukan, syaitan juga memiliki bagian untuk menyesatkan di dalamnya, di mana syaitan menggusur mereka ke dalam kitman atau talbis, bahkan ada yang menggusur mereka ke dalam muwaalah dan tawalliy kepada kaum musyrikin”

Itulah sebabnya Allah memerintahkan kita untuk mendahulukan keberlepasan diri dari kaum musyrikin sebelum berlepas diri dari kemusyrikan itu sendiri, supaya tidak ada peluang atau celah untuk terjatuh ke dalam muwaalah atau tawalliy. Karena ketika kita berlepas diri dari mereka dan merekapun berlepas diri dari kita, maka tentu akan ada batasan jarak antara diri kita dengan mereka. Dan ketika kita menyatakan permusuhan dan merekapun menyatakan permusuhan, maka tidak akan ada celah untuk muwaalah atau tawalliy kepada orang kafir. Akan tetapi bila keberlepasan diri ini tidak dilakukan secara total, maka mau tidak mau akan terjatuh minimal ke dalam muwaalah shughra yang merupakan dosa besar.

Dan du’at atau ulama yang memiliki pemahaman Irja, maka dia akan mudah sekali untuk terjatuh ke dalam tawalliy kepada orang-orang musyrik. Oleh karena itu para ulama salaf menghati-hatilkan bahwa Irja itu lebih busuk daripada Azzariqah (Khawarij), karena Irja ini mudah menghantarkan orang ke dalam kekafiran, apalagi dalam payung negara kafir seperti ini. Kita bisa melihat banyak kelompok atau jama’ah-jama’ah yang masuk ke dalam sistem demokrasi, mereka pada dasarnya berpaham Irja dari sisi Al Iman, mereka mengatakan “Yang penting saya meyakini di dalam hati….”, mereka terlalu mengenteng-enteng ajaran Allah sehingga banyak dari mereka melepaskan ajaran Islam tanpa  diri mereka sadari.

Kita kembali kepada materi, Jadi hadits “Orang mukmin yang berbaur di tengah manusia dan dia sabar terhadap sikap buruk (penindasan) mereka adalah lebih baik daripada orang mukmin yang tidak berbaur dengan manusia dan tidak sabar terhadap sikap buruk mereka” (Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah) adalah isyarat yang pertama kepada penampakkan Millah Ibrahim yang merupakan inti ajaran para Nabi.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para shahabat dan para pengikutnya sampai hari kiamat. Alhamdulillahirabbil’alamin

Monday, October 25, 2010

Kisah Seorang Syaikh yg Berjuang di Gedung Parlemen

Saya tidak pernah menduga bahwa apa yang telah Allah tetapkan di dalam Kitab-Nya dan lewat lisan Rosul-Nya saw membutuhkan persetujuan hamba-hamba Allah, akan tetapi saya dikejutkan bahwa firman Rabbul Yang Maha Tinggi itu senantiasa berada di dalam mushaf –tetap memiliki kesucian di hati-hati kami– sampai hamba-hamba Allah di parlemen menyetujui untuk menjadikan firman Allah itu sebagai undang-undang. Bila ketetapan hamba-hamba Allah di parlemen itu berselisih tentang hukum Allah di dalam Al Qur’an maka sesungguhnya keputusan hamba-hamba Allah itu akan menjadi undang-undang yang dijadikan acuan dalam lembaga Yudikatif yang penerapannya mendapat jaminan dari lembaga Eksekutif, meskipun itu bertentangan dengan Al Qur’an dan Assunnah.

Dan bukti atas hal itu adalah bahwa Allah swt telah mengharomkan khomr, akan tetapi parlemen mengizinkannya, dan Allah juga telah memerintahkan penegakkan hudud, akan tetapi parlemen menggugurkannya. Hasil yang ada sesuai dengan contoh-contoh itu adalah bahwa apa yang ditetapkan oleh parlemen telah menjadi qonun (undang-undang) meskipun itu berseberangan dengan Islam.

Kalimat di atas adalah kesimpulan salah seorang ulama Islam yang pernah duduk di kursi parlemen sebagai wakil rakyat selama delapan tahun. Anggota dewan yang ‘alim ini dahulu telah merasakan akan pentingnya ceramah di atas mimbar-mimbar, dan pentingnya menulis di koran-koran. Setelah lama dia hidup menjalani metode-metode itu, dia semakin yakin akan pengaruh hasil yang dicapainya, akan tetapi dia merasakan bahwa sekedar (menulis dan ceramah) saja tidak bisa menghasilkan perubahan dalam undang-undang dan pengaruh yang berkesinambungan dalam kekuasaan Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif, maka akhirnya dia mencalonkan dirinya untuk menjadi anggota parlemen dalam rangka mencari metode baru untuk tujuan meninggikan kalimat Allah swt dengan pemberlakuan/penerapan syari’at Islam, ini untuk menyelamatkan hamba-hamba Allah dari kesesatan, dan melepaskan mereka dari kebathilan, serta merangkulnya ke dalam haribaan Islam.

Akhiranya sang ‘alim ini berhasil menjadi anggota parlemen di bawah motto (Berikan suaramu kepadaku agar kami bisa membereskan dunia ini dengan agama), dan orang-orang pun memberikan suara mereka kepadanya karena merasa percaya terhadapnya meskipun banyaknya cara-cara pemalsuan, dan manipulasi dalam pemilu-pemilu itu. Maka keanggotaan sang ‘alim ini terus berlangsung berturut-turut selama dua masa jabatan, kemudian setelah masa itu dia berkata: “Sesungguhnya suara Islam itu sangatlah sulit mendapatkan gemanya di dua masa/periode ini.”

Sang ‘alim ini suatu hari pergi menuju salah satu kantor kamtib untuk menyelesaikan kepentingan-kepentingan masyarakat, kemudian dia dikagetkan di kantor Rehabilitas Moral dengan keberadaan tiga puluh wanita yang duduk di atas lantai, maka dia bertanya: “Apa kesalahan mereka?” Maka seorang petugas menjawab kepadanya: “Sesungguhnya mereka itu adalah wanita-wanita jalang (WTS/PSK),” maka si ‘alim bertanya: “Dan mana para laki-laki hidung belangnya? Karena itu adalah kriminal yang tidak mungkin dilakukan kecuali antara laki-laki pezina dengan wanita pezina,” maka si petugas memberitahukannya bahwa si laki-laki pezina bagi mereka adalah hanyalah sekedar saksi bahwa dia telah melakukan zina dengan wanita ini dan dia telah memberinya bayaran atas hal itu, kemudian dia (si wanita) dikenakan hukuman bukan karena dia telah berzina akan tetapi karena dia telah meminta upah. Ternyata orang yang mengaku bahwa dirinya berzina telah berubah menjadi saksi atas si wanita, dan undang-undang tidak menoleh kepada pengakuan dia akan zina itu.

Sang wakil yang ‘alim ini berang, marah karena Allah, maka si petugas berkata kepadanya dengan santainya: “Kami hanya melaksanakan undang-undang yang kalian tetapkan di parlemen.” Akhirnya si wakil yang ‘alim ini mengetahui bahwa meskipun banyaknya orang yang menyuarakan penerapan syari’at, dan meskipun itu didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rosul-Nya, maka sesungguhnya harapan-harapan akan penegakkan syari’at itu tidak mungkin terealisasi kecuali lewat jalur parlemen yang mereka namakan (kekuasaan legislatif). Dan dikarenakan badan yudikatif itu tidak memutuskan kecuali dengan undang-undang yang bersumber dari parlemen, serta karena kekuasaan eksekutif tidak akan bergerak untuk melindungi Al Qur’an dan Assunnah dan tidak pula bergerak melindungi Al Islam kecuali dalam batas kesucian apa yang telah diakui oleh parlemen, maka sang ‘alim ini meyakini bahwa mencapai tujuan ini adalah mungkin saja bila para anggota perlemen mengetahui bahwa ini adalah firman Allah, sabda Rosulullah saw dan hukum Islam supaya mereka menetapkannya.

Berangkatlah sang wakil yang ‘alim ini, terus dia mengajukkan program penggodokan undang-undang untuk menegakkan hudud syar’iyyah, program penggodokan undang-undang untuk mengharomkan riba dengan pengajuan solusi pengganti, program penggodokkan undang-undang untuk menertibkan sarana-sarana informasi agar sesuai dengan hukum-hukum Allah, program penggodokkan undang-undang untuk menghormati kesucian bulan Romadhon dan tidak terang-terangan melakukan pembatal shoum di siangnya, program penggodokkan undang-undang untuk membersihkan pantai-pantai wisata dari hal-hal porno/cabul/keji/dll, serta program-program Islami lainnya. Program-program ini disamping ditandatangani dia, ikut menandatanganinya juga sebagian besar anggota parlemen.

Wakil yang ‘alim ini berangkat untuk menunaikan umroh, dan dia disertai sebagian anggota parlemen itu. Di sisi hajar aswad mereka berjanji kepada Allah untuk selalu memperjuangkan syari’at Allah di parlemen. Kemudian mereka naik pesawat menuju Al Madinah Al Munawwaroh, dan di sana juga mereka saling berjanji setia untuk menyuarakan suara-suara mereka demi membela syari’at Allah--bukan membela partai-partainya. Sang wakil yang ‘alim ini menyalahkan ketiga lembaga itu (Eksekutif, Yudikatif, dan Eksekutif) atas pelegalan hal-hal yang diharomkan dan menyimpang terhadap syari’at. Dia mengancam Menteri Keadilan bahwa dia akan menggunakan hak interplasinya terhadapnya setelah beberapa bulan, karena si menteri tidak menyerahkan apa yang telah diselesaikan berupa undang-undang pemberlakuan syari’at Islam. Dan si menteri itu tidak memenuhi apa yang diminta oleh sang wakil tersebut, maka dia menginterplasi sang menteri itu –Interplasi dalam kamus parlemen adalah mengharuskan pejabat yang diinterplasi untuk menjawab apa yang diajukan oleh anggota parlemen selama keanggotaan si menteri itu belum gugur atau si menteri yang diinterplasi belum keluar dari jabatan kementerian– dan si wakil itu terus saja menginterplasi si menteri dan pemerintah pun justeru mendukung si menteri dan bersikeras berusaha untuk menggugurkan interplasi itu. Pada saat runcingnya hak interplasi si wakil rakyat yang ‘alim itu, maka pemerintah merombak kabinetnya dan tidak ada yang diberhentikan dari jabatan menteri kecuali menteri keadilan itu, jadi dia dicopot dari jabatannya supaya hak interplasi itu itu menjadi gugur. Dan perlakuan ini sering berulang-ulang sehingga menjadi kaidah yang jitu saat berhadapan dengan parlemen.

Si wakil rakyat yang ‘alim itu kembali bertanya-tanya kepada para anggota dewan seraya berkata: “Sesungguhnya proyek-proyek undang-undang Islam itu disimpan di laci-laci panitia, sedangkan kalian telah berjanji kepada Allah di Al Haromain untuk menjadikan suara-suara kalian ini bagi Allah dan Rosul-Nya.” Dan si wakil wakil rakyat itu meminta mereka agar menandatangani untuk menuntut pemberlakuan secepatnya syari’at Islam, maka mereka pun memenuhi permintaannya dan menandatangani apa yang dipinta oleh sang wakil rakyat, kemudian sang wakil yang ‘alim ini menyimpan berkas ini di sekretariat parlemen. Dia meminta atas nama semua anggota dewan agar memperhatikan undang-undang syari’at Allah. Maka ketua parlemen pun bangkit dan menuntut atas nama semua anggota agar kembali memperhatikan undang-undang penerapan syari’at Allah, dan dia berkata: “Sesungguhnya pemerintah ini memiliki semangat yang sama dengan kalian untuk membela Islam, akan tetapi kami meminta dari anda-anda kesempatan untuk melakukan lobi-lobi politik, maka semua anggota yang menandatangani dan yang telah berjanji di Al Haromain untuk memberlakukan syari’at Islam bertepuk tangan dan menyetujui permintaan itu, sehingga lenyaplah sudah tuntutan penerapan secepatnya akan syari’at Islam, dan menanglah pemerintah. Maka keterputusasaan telah meliputi diri sang wakil yang ‘alim itu, karena ketidakberhasilan usaha-usahanya dalam rangka menegakkan syari’at bersama-sama dengan para anggota yang telah dia ajak kemudian mereka menyetujuinya, terus setelah itu mereka justeru berpaling.

Akan tetapi dia suatu hari dikejutkan dengan satu usulan dari ketua parlemen untuk menyepakati dibentuknya panitia umum dalam rangka mengundang-undangkan syari’at Islam, dan ternyata jelas tujuan sebenarnya, dia mendapatkan bahwa keputusan pemerintah yang tiba-tiba ini tidak lain untuk menutupi kebobrokan maha besar yang telah mencoreng negeri, dan pemerintah ini TIDAK mengambil keputusan untuk kepentingan Islam. Dan sang wakil itu tetap menyambut rencana ini meskipun dia mengetahui tujuan sebenarnya. Panitia pun berkumpul, akan tetapi si wakil merasakan ketidakseriusan pemerintah terhadap penerapan syari’at Allah, karena kalau seandainya pemerintah memang menginginkan ridho Allah, tentu di sana ada hal-hal yang tidak membutuhkan proses-proses. Penutupan pabrik-pabrik khomr mungkin dilakukan dengan satu goresan pena, dan penutupan diskotik dan bar-bar bisa dengan satu goresan pena pula.

Ada fenomena-fenomena yang menunjukan bahwa di balik itu ada tujuan sebenarnya, yang semuanya memberikan pengaruh dalam jiwa sang wakil –yang sebenarnya merupakan salah satu kaidah dalam menghadapi parlemen– yang isinya adalah: “Bahwa syari’at Allah tidak akan terealisasi SELAMA-LAMANYA lewat tangan-tangan anggota parlemen.” Masyarakat dikejutkan dan si wakil juga dikejutkan dengan dibubarkannya parlemen, padahal sebelumnya dia adalah ketua panitia proyek-proyek penerapan syari’at Islam dan dia terus melakukan pengkajian dan penyusunan undang-undang bersama panitia dalam tiga puluh pertemuan.

Pada saat kekosongan parlemen muncul keputusan yang sangat berbahaya dalam masalah yang menyentuh langsung kehidupan pribadi masyarakat. Maka sang wakil yang ‘alim ini berdiri menghadang keputusan ini, karena itu bertentang dengan Islam dan undang-undang dasar, akan tetapi kaidah yang baku mengatakan: “Sesungguhnya parlemen itu dapat dibubarkan dengan dekrit bila negara hendak memaksakan sesuatu atas masyarakat, meskipun itu bertentangan dengan Islam.” Adapun kaidah terpenting yang dijadikan landasan oleh parlemen adalah apa yang telah disimpulkan oleh sang wakil yang ‘alim dengan ucapannya:

“Sesungguhnya meskipun, saya diberi kemampuan menyampaikan hujjah-hujjah, dan meskipun sikap saya ini berlandaskan Kitabullah dan Assunnah, maka sesungguhnya di antara aib parlemen dan tanggung jawabnya yang jelas nista adalah bahwa demokrasi itu menjadikan keputusan itu ada ditangan mayoritas SECARA MUTLAK dengan pasti, dan tidak ada batas serta tidak ada syarat meskipun bertentang dengan Islam.”

Sang wakil mulai merasakan bahwa ada langkah dan usaha-usaha dari pemerintah, ketua parlemen dan partai-partai mayoritas untuk mempersempit ruang geraknya. Dan kepemimpinan parlemen pun mulai melawan usaha-usahanya, menuduhnya bahwa dia menghambat pekerjaan-pekerjaan panitia, akan tetapi dia terus mengerahkan usaha dan kemampuannya. Dia mengajukan banyak pertanyaan yang belum dicantumkan dalam jadwal-jadwal panitia, dan dia juga bangkit menuntut banyak permintaan untuk merubah jadwal, akan tetapi dia mendapati semua itu sudah dikubur dan tidak ada lagi wujudnya. Kemudian dia kembali menggunakan hak interplasinya yang tidak bisa ditolak. Dia menginterplasi menteri-menteri pemerintahan tentang penutupan yang dilakukan negara terhadap lembaga pengadilan syar’iy dan wakaf, lembaga-lembaga pendidikan agama, pondok-pondok tahfidz Al Qur’anul Karim, dan tentang tindakannya terhadap kurikulum-kurikulum pendidikan di universitas-universitas agama dengan dalih pengembangannya, dan tentang tekanannya terhadap mesjid-mesjid dengan cara mengeluarkan keputusan yang tidak membolehkan seorang pun meskipun dia itu adalah syaikh (ulama) untuk masuk tempat ibadah dan mengatakan meskipun dalam rangka nasihat agama ungkapan yang bertentangan dengan aturan kantor/tata tertib atau undang-undang yang baku, dan siapa melakukannya maka dia ditahan dan dikenakan denda, dan bila dia melawan maka denda dilipatgandakan dan kemudian dipenjara.

Sang wakil yang ‘alim ini menginterplasi menteri pariwisata, karena para siswa sekolah perhotelan dipaksa harus mencicipi khomr, mereka menolak dan akibatnya diberhentikan dari sekolah. Dia juga menginterplasi menteri penerangan menuntut dibersihkannya sarana-sarana informasi dari tindakan porno yang menghancurkan tatanan moral dan akhlak serta kesucian negeri. Interplasi ketiga kepada menteri perhubungan tentang fenomena buruk dan tindakan tidak maksimal akan sarana ini. Sang wakil yang ‘alim ini telah merasa bahwa ia terus mengajukan berbagai macam interplasi akan tetapi seolah-olah itu ditujukan terhadap drum yang bolong, maka ia berdiri di parlemen seraya meminta pertanggungjawaban ketuanya dan menuduhnya bahwa dia telah keluar dari tata-tertib parlemen. Maka ketua parlemen memerintahkan dalam permainan yang berkesan untuk memasukan tiga interplasi itu dalam satu kali pertemuan padahal setiap interplasi itu membutuhkan beberapa hari, kemudian dia memanggil salah satu fraksi parlemen dari partai mayoritas untuk menggulirkan interplasi-interplasi ini. Menteri pariwisata dipanggil, lalu pemerintah yang menentang pencantuman interplasi ini dalam jadwal kerja ikut campur karena di dalamnya ada kata-kata yang pedas yaitu tuduhan yang dilontarkan pemilik interplasi itu terhadap sang menteri, bahwa dia mengingkari hakikat sebenarnya dalam menjawab pertanyaannya, kemudian situasi dilimpahkan kepada para wakil di parlemen, maka mereka memutuskan untuk menghapuskan interplasi itu dan mereka menggugurkan apa yang dinamakan haq dusturiy (hak undang-undang) sang wakil itu dalam meminta pertanggungjawaban pemerintah. Kemudian selanjutnya interplasi kedua yang diajukan kepada menteri penerangan, sebagaimana para wakil itu membela khomr maka mereka juga membela dansa padahal mereka itu sudah berjanji kepada Allah untuk membela syari’at-Nya. Kemudian selanjutnya dibahas interplasi ketiga, akan tetapi para wakil ini melihat bahwa permintaan tanggung jawab si menteri perhubungan ini sesuai dengan selera mereka (maka mereka membela interplasi sang wakil itu), maka pada akhirnya sang wakil yang ‘alim itu berdiri ke podium dan berkata kepada para wakil di parlemen:

“Wahai hadirat para wakil yang terhormat, saya bukanlah penyembah jabatan, dan saya juga tidak menginginkan kursi ini karena kedudukannya, sungguh syi’ar saya dahulu adalah “berikan suaramu kepadaku untuk kami benahi dunia ini dengan agama”, dan dahulu saya mengira bahwa cukup untuk mencapai tujuan ini dengan mengajukan proyek-proyek undang-undang Islam, akan tetapi telah nampak jelas bagi saya bahwa majelis kita ini tidak memandang hukum Allah kecuali lewat hawa nafsu kepartaian, dan mana mungkin hawa nafsu itu mempersilahkan agar kalimat Allah itu adalah yang paling tinggi…

Saya telah mendapatkan bahwa jalan saya untuk menuju tujuan itu telah/dan selalu tertutup di antara kalian, oleh sebab itu saya mengumumkan pengunduran diri saya dari parlemen ini tanpa ada penyesalan dan rasa sayang akan hilangnya keanggotan saya ini.”

Dan pulanglah sang wakil yang ‘alim ini ke rumahnya pada bulan April tahun 1981, dan majelis pun ditutup. Sang wakil yang ‘alim ini telah meninggalkan parlemen itu, kemudian beberapa tahun berikutnya dia pergi meninggalkan dunia yang fana ini, dan parlemen pun selalu tetap memutuskan, menetapkan hukum, dan melaksanakan dengan selain apa yang Allah turunkan.

Dikutip dari artikel karya Dr. Ahmad Ibrohim Khidlir yang dimuat di majalah Al Bayaan no. 66 yang dikeluarkan oleh Al Muntadaa Al Islaamiy di London.

____________________________________________________________
*Semoga dapat diambil pelajaran, dan sesungguhnya hanya orang-orang yg Alloh beri petunjuk yg dapat menjadikannya pelajaran. Wallohuttaufiq

Thursday, October 14, 2010

PKS dan Harapan Yang Tersisa untuk Indonesia


Oct 11, '10 8:35 AM
for everyone


Oleh: Anugrah Roby Syahputra            

Jika mendengar nama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) disebut, kita akan langsung terbayang pada sosok anak-anak muda berjenggot rapi dan kaum perempuan berbusana rapi dengan jilbab besar yang rajin berdemonstrasi. Ya, partai yang cikal bakalnya disebut Ali Said Damanik (Fenomena Partai Keadilan, 2002) berakar dari Gerakan Tarbiyah yang marak di kampus-kampus pada dekade 80-an itu kini melaksanakan Musyawarah Wilayah ke-2 untuk wilayah Sumatera Utara yang berlangsung di Medan pada tanggal 7-10 Oktober 2010. Ini merupakan momentum yang tepat untuk merumuskan perbaikan bagi tanah bertuah yang berbudi luhur ini.            

Banyak hal yang telah ditorehkan oleh partai berlambang dua bulan sabit kembar mengapit padi ini. Sejak awal mula pendiriannya saja, partai yang dulunya bernama Partai Keadilan (PK) ini telah mencengangkan publik Indonesia. Deklarasi pendiriannya di halaman Masjid Al-Azhar, Jakarta dihadiri lima puluh ribu kader. Ini mengagetkan banyak pihak bagaimana mungkin sebuah partai baru bisa menghadirkan massa sebanyak itu. Terlebih lagi setelah mengetahui hasil Pemilu 1999 di mana PK berhasil merebut 7  kursi DPR RI, 26 kursi DPRD Propinisi, 163 kursi DPRD Kabupaten/Kota dan 1,4 juta suara pemilih atau 1,6 % dukungan rakyat. Ini sebuah debut perdana yang mengagumkan. Cuma PK satu-satunya partai baru yang bisa mendapat raihan suara sebanyak itu.            

Lalu keajaiban kembali terjadi di 2004. Electoral treshold yang saat itu menjegal banyak kekuatan politik reformasi, tidak menjadi penghalang bagi partai dakwah ini untuk terus bekerja. Mereka memilih baju baru PKS untuk mewarisi dan melanjutkan cita-cita perjuangan PK. Dan hasilnya PKS (bersama Partai Demokrat) menjadi rising star dalam percaturan politik nasional. Capaian suaranya melejit tajam hingga 7,34% (8.325.020) dari jumlah total pemilih dan mendapatkan 45 kursi dari total 550 kursi di DPR.  Sementara di Pemilu 2009 sebenarnya PKS mengalami “kekalahan” di beberapa kota besar yang menjadi basis mereka seperti Jakarta, Bandung dan Medan setelah disapu oleh tsunami iklan SBY dan Demokrat, meskipun syukurnya PKS bisa melakukan ekstensifikasi konstituen yang kini semakin melebar tidak hanya di wilayah urban.            

Namun, hal yang amat patut diapresiasi adalah semangat PKS yang tak pernah pupus untuk berbuat kebaikan bagi bangsa. Program-program sosial mereka tetap dijalankan, meski tidak diekspos besar-besaran oleh media massa. Dalam penanggulangan bencana, PKS tetap menurukan relawan dan bantuan dana yang tidak pernah sedikit. Termasuk ketika membantu korban musibah gempa Sumatera Barat, Situ Gintung, dan banjir di beberapa daerah. Aksi-aksi solidaritas tetap mereka jalankan meskipun sering difitnah menjadikan kepedihan saudara sendiri di Palestina sebagai komoditas politik. Tulus atau tidak, sedikitnya sudah lebih dari 22 milyar rupiah yang berhasil dihimpun dan disalurkan PKS untuk perjuangan kemerdekaan dan misi kemanusiaan di bumi Al-Quds sana. Begitu pula para anggota legislatifnya yang sampai saat ini Insya Allah masih amanah dan tetap menolak budaya suap walaupun tak jarang dicemooh sebagai orang munafik. Seperti yang dilansir berbagai media, PKS masih tetap menjadi partai terdepan dalam perlawanan terhadap kultur koruptif di pemerintahan. Hal ini dibuktikan dengan data KPK yang menunjukkan bahwa PKS adalah partai yang paling tinggi angka pengembalian gratifikasinya dan tingkat kepatuhan dalam melaporkan kekayaan.            

Di samping itu, sejauh ini partai yang kini dipimpin Luthfi Hassan Ishak itu mau tak mau harus diakui telah berhasil melakukan strategi political marketing yang jitu. Terbukti slogan Bersih, Peduli dan Profesional yang didengung-dengungkan telah melekat di benak masyarakat. Hal ini bukanlah semata karena faktor keunggulan konsultan politik sebagaimana yang dilakoni parpol lain, melainkan lebih disebabkan oleh kesantunan sikap berpolitiknya yang tetap mengedepankan prilaku jujur dan bersih,  kepekaan pengurus dan kadernya terhadap masalah sosial dan isu-isu kerakyatan serta keberhasilan kader-kadernya yang didaulat menjadi pejabat publik. Kementerian Pertanian yang telah dua kabinet dipegang oleh kader PKS misalnya telah mencatatkan prestasi memperoleh swasembada pangan. Selain itu, kader PKS yang menjad kepala daerah pun juga tak kalah prestasinya. Misalnya, Nurmahmudi Ismail yang mendapat amanah sebagai walikota Depok mendapatkan penghargaan dari KPK sebagai kota yang paling bersih dan tranparan proses pengadaan barang dan jasanya.       

     
Membaca Jalan Moderat PKS       
    
Sejak Mukernasnya pada 2008 di Denpasar, wacana perubahan PKS menjadi partai terbuka menggema di mana-mana. Partai yang selama ini dicap ekslusif ini menyatakan kesiapannya untuk membersamai seluruh komponen bangsa tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama dan ras. Apalagi setelah Munas ke-2 PKS di Hotel Ritz Carlton, Jakarta yang semakin meneguhkan komitmen mereka menghargai pluralitas dan kebhinekaan Indonesia dengan mengundang tokoh-tokoh Amerika dan negara Eropa untuk duduk bersama membincangkan masa depan bangsa. Hal tersebut, ungkap J. Kristiadi, menunjukkan bahwa PKS adalah partai yang percaya diri dan bukan harus inferior terhadap negara adidaya. Ditambah lagi iklan-iklan yang menampilkan sosok-sosok beragam mulai dari kyai sampai anak punk, mulai dari Natsir sampai Soekarno dengan merahnya yang menyala. Barangkali pencitraan keberagaman yang ditampilkan tersebut adalah dalam kerangka mewujudkan visi dan misi PKS sebagai “Partai Dakwah Penegak Keadilan dan Kesejahteraan dalam Bingkai Persatuan Ummat dan Bangsa” sebagaimana tercantum dalam AD/ART partai. Partai ini kemudian ingin bisa dikategorikan sebagai kelompok “moderat” (Collins, 2004; ICG, 2005), dalam pengertian menerima demokrasi dan bekerja dalam kerangka konstitusional dan non-kekerasan demi memperoleh simpati masyarakat. Sebab, beberapa waktu sebelumnya, santer tuduhan bahwa PKS membawa hidden agenda untuk menegakkan negara Islam yang dikhawatirkan sebagian kalangan akan merugikan kelompok minoritas. Kekhawatiran itu setidaknya terungkap dalam buku Ilusi Negara Islam yang diterbitkan oleh Ma’arif Institute dan LibforAll Foundation. PKS mendapat fitnahan keji sebagai agen kelompok transnasional garis keras yang akan merongrong kedaulatan NKRI. Begitupun, rakyat jualah yang akan menilai siapa yang santun dan siapa yang bersikap kasar layaknya teroris.

PKS dan Harapan yang Tersisa            

Jujur saja, mungkin polah politik otoriter orde baru yang koruptif telah membuat sebagian besar masyarakat republik ini mengimani kepercayaan Machiavelli bahwa politik itu kotor.  Wajar saja kalau kepercayaan rakyat terhadap parpol rendah. Hal itu tercermin dari semakin rendahnya tingkat partisipasi pemilih di berbagai Pemilu dan Pilkada. Hingga kemudian datang PKS yang menggabungkan dua unsur kebaikan: semangat anak muda (hamasatusy-syabab) dan kebijaksanaan para ulama (hikmatusy-syuyukh). Inilah jawaban akan penantian masyarakat akan perbaikan negeri ini. Satu-satunya harapan yang masih tersisa setelah berbagai perilaku amoral dipertontonkan oleh pejabat pemerintahan dan kader partai lain. Maka, sisa harap itu tertumpu di pundak PKS yang menasbihkan diri sebagai agent of change.

Oleh karenanya, PKS tak boleh membuat rakyat kecewa. PKS harus terus berikhtiar untuk kebaikan Indonesia. Dan, tentunya partai ini bukanlah kumpulan malaikat tanpa noda dan dosa. Ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam tubuh partai ini. Pertama, menjaga orisinalitas (ashalah) gerakan. Menjadi partai terbuka memanglah tuntutan konstitusi dan agama. Sebab ini adalah sarana untuk menyebarkan kebaikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Namun yang harus digarisbawahi adalah jangan sampai karena kepentingan taktis seperti ini PKS kehilangan ruhnya sebagai sebuah gerakan dakwah. Core aktivitasnya sebagai pemikul amanah dakwah tak boleh terlupakan. Para pemimpinnya juga harus mengingat bahwa PKS bukanlah partai yang besar karena popularitas atau kharisma pemimpinnya, namun ia besar karena loyalitas dan militansi kadernya yang terbangun dari proses kaderisasi yang matang.  Itulah mengapa aspek pembinaan internal dengan mensolidkan struktur dan terus-menerus meng-up-grade kader menjadi prioritas penting.

Kedua, memelihara keteladanan tokoh dan kader. Kasus yang menimpa Misbakhun sudah semestinya menjadi pelajaran bagi pengurus PKS. Meski aleg PKS tersebut belum terbukti bersalah, namun tak pelak kejadian itu telah mencoreng nama baik PKS yang telah lama dibangun. Ibarat kata pepatah, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Profil kader PKS yang kokoh dan mandiri, dinamiis dan kreatif, spesialis dan berwawasan global dan lainnya itu haruslah terejawantahkan dalam laku sehari-hari kadernya sehingga kalau bisa akan terbit lagi seri-seri berikutnya dari buku Bukan di Negeri Dongeng (Kisah Para Pejuang Keadilan). Karena rakyat kita merindukan sosok yang sederhana dan bersahaja layaknya KH Rahmat Abdullah atau DR. Hidayat Nur Wahid yang bisa mereka teladani, yang sama antara tutur dan lakunya.

Ketiga, mengeluarkan kebijakan dan sikap politik yang populis. Sejarah adalah guru yang paling jujur. Maka PKS wajib bercermin pada gonjang-ganjing akibat iklan Soeharto dan tokoh-tokoh ormas Islam yang dicatut. PKS juga harus mengevaluasi statement kontroversial yang sering disampaikan oleh kadernya seperti Fahri Hamzah dan Anis Matta. Tak ada salahnya memang melakukan manuver politik. Apalagi untuk sebuah strategi agar dapat menjadi headline media massa. Namun ijtihad itu perlu dikaji ulang jika kemudian justru menimbulkan keresahan di masyarakat atau bahkan tubuh internal partai sendiri. Ada baiknya PKS berhati-hati dalam menyampaikan sikap politik ini khususnya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak semisal harga BMM dan tarif dasar listrik. 

Termasuk bagaimana PKS harus mencari posisi aman atas dua tuntutan kelompok yang berseberangan: pendukung formalisasi syariat Islam yang kaffah dan pembela kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia yang berideologi liberal bahkan cenderung fobia terhadap Islam. Untuk hal ini, PKS dapat belajar dari merosotnya suara PAS di Malaysia setelah mereka mengeluarkan buku yang berjudul Negara Islam, sebuah buku yang secara tegas memuat platform dan visi PAS untuk menerapkan Islam dalam hukum positif di negara jiran itu. Sebaliknya, partai AKP di Turki bisa menggapai kemenangan besar di sana dan menguasai 100% kabinet pemerintahan dengan “perngorbanan” merelakan sebagian nilai-nilai sekuler tetap bersemi dan saling berebut posisi dengan nilai Islam di tengah masyarakatnya.

Keempat,  menyiapkan SDM yang mumpuni untuk mengelola negara. Sudah bukan rahasia lagi kalau PKS dihuni oleh kader-kader muda yang berpendidikan dan punya latar belakang sebagai aktivis mahasiswa di kampusnya. Ini membuat idealisme dan cita-cita mereka menemukan muara yang tepat. Hal seperti inilah yang perlu terus dimatangkan oleh PKS agar ketika kelak masyarakat memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada PKS, tidak ada lagi keterkejutan. Mengelola negara bukanlah pekerjaan sepele yang semudah membalikkan telapak tangan. Sebab untuk menyusun kembali puing reruntuhan yang terserak ini tak cuma dibutuhkan orang shalih dan jujur, namun juga harus cakap dan kapabel.

Akhirnya, kita harus terus berikhtiar, berdo’a dan memupuk harapan itu agar mindset masyarakat tak lagi berbunyi, “Ah, buat apa nyontreng, siapapun yang terpilih, tetap juganya awak hidup susah.” Alangkah indahnya kalau kemudian yang terdengar dari mereka adalah optimisme menyongsong kebangkitan kembali kejayaan zamrud khatulistiwa ini bersama PKS. Semoga.

Tulisan ini memenangkan Juara Pertama dalam Lomba Penulisan Opini Muswil ke-2 PKS Sumut 2010
 
 

Ust Mashadi: Segalanya telah dimilikinya, barangkali hanya satu yang masih belum dimilikinya, yaitu rasa malu.

Segalanya telah dimilikinya. Rumah megah dilereng bukit. Mobil mewah berderet-deret dihalaman parkir. Tanahnya puluhan hektar. Investasinya di mana-mana. Simpanan uang di bank-bank tak ternilai. Kekayaannya sudah lebih. Tak ada lagi yang kurang. Dalam hal kenikmatan dan kemegahan dunia, tak ada lagi yang diperlukan. Serba cukup. Barangkali hanya satu, yang masih belum dimilikinya, yaitu rasa malu.

Dalam hidupnya tak seperti kebanyakan orang. Di mana orang-orang harus bekerja dengan keras untuk mendapatkan uang. Orang harus berangkat pagi, sebelum fajar pergi ke kota untuk bekerja. Membanting tulang. Larut malam baru pulang. Itupun terkadang yang didapatkannya belum pasti. Bagi kebanyakan orang hidupnya penuh dengan ketidakpastian. Seakan umurnya itu habis di jalan, hanya mengejar yang tak pasti. Berjam-jam menempuh perjalanan menuju tempat kerja. Itupun yang didapatkan terkadang belumlah mencukupi.

Tetapi, ada orang yang tidak mencari uang, justru uang yang mengejarnya, mendatanginya, dan datang dengan uang yang berlimpah-limpah. Ia hanya duduk-duduk di beranda rumahnya, dan orang-orang datang mengunjunginya.

Orang datang ingin mendapatkan restu, dukungan, dan pengesahan. Mereka yang datang ingin mendapatkan dunia. Harta, jabatan, kekuasaan, dan kenikmatan hidup lainnya. Itulah yang sekarang menjadi ‘ilah-ilah’ baru di zaman modern ini. Banyak orang yang berjudi dengan hidup, yang bertujuan ingin mendapatkan simbol-simbol kenikmatan dunia.

Orang-orang yang mengejar jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan kenikmatan dunia lainnya itu, kemudian mereka datang kepada empunya, yang dipercaya dapat memberikan jaminan dan kelayakan bagi dirinya menjadi pejabat, memiliki kedudukan, memiliki kekuasaan, dan mendapatkan kenikmatan dan kemuliaan dunia. Bagi mereka pencari kenikmatan dan kemuliaan dunia, yang berusaha mendapatkannya, dan pasti akan menemui empunya, yang menjadi pembuka kunci bagi tercapainya tujuan itu, serta tak segan-segan memberikan dan mengabulkan permintaan apa saja yang menjadi kehendak empunya.

Sekarang di zaman demokrasi, segalanya ditentukan oleh partai-partai, dan menuju jabatan, kedudukan, dan kekuasaan, yang diinginkan oleh bagi semua orang yang menginginkannya, kunci dan pintu pembukanya adalah para pemegang kuasa partai. Suka atau tidak suka. Mereka yang ingin mendapatkan kenikmatan hidup berupa jabatan, kedudukan, dan kekuasaan, semua pintunya melalui partai, dan para pemegang kuasa partai.

Tentulah, segala kerusakan dan kebobrokan yang ada sekarang ini, manakala semua orang-orang yang memegang kuasa, tidak lagi memiliki ‘itijah’ (orientasi) kepada kehidupan akhirat, dan hanyalah kepada kenikmatan dunia, maka sekecil apapun, ketika ia memiliki kuasa, pasti kekuasaan itu akan diorientasikan untuk mendapatkan kenikmatan dunia sebesar-besarnya. Tidak mempedulikan segala akibatnya yang akan timbul.

Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri ra, berkata, Rasulullah Shallahu alaihi wa salam bersabda, “ Sesungguhnya sebagian yang masih diingat orang dari ajaran para Nabi terdahulu, “Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu”. (HR. Bukhari)

Makna malu adalah mencegah dari melakukan segala sesuatu yang tercela, maka sesungguhnya memiliki malu, pada dasarnya, seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Rasa malu adalah ciri khas kebaikan, yang senantiasa diinginkan oleh manusia. Mereka melihat bahwa tidak memiliki rasa malu adalah aib. Rasa malu merupakan bagian dari kesempurnaan iman. “Malu adalah bagian dari keimanan”, dan dalam hadist lainnya “Rasa malu selalu mendatangkan kebaikan”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan secara marfu’ (bersumber dari sabda Rasulullah), bahwa Ibnu Mas’ud, “Merasa malu kepada Allah adalah dengan menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, perut dan apa yang ada didalamnya, dan selalu mengingat mati dan cobaan. Barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka akan meninggalkan perhiasan dunia. Dan siapapun yang melakukan hal itu tersebut ia telah memiliki rasa malu kepada Allah”.

Jika dalam diri manusia tidak ada lagi rasa malu, baik yang bersifat bawaan maupun yang diusahakan, maka tidak ada lagiyang menghalangi untuk melakukan perbuatan keji dan hina. Bahkan menjadi seperti orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, sehingga tidak berbeda degan golongan syetan.

Seperti dikatakan Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, “Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu”. Ini menggambarkan betapa orang yang tidak memiliki lagi malu, pasti ai akan berbuat dan bertindak sesuka hatinya, tanpa lagi mempedulikannya.

Berdusta, berbohong, berkhianat, memberikan wala’nya (loyalitasnya) kepada musuh-musuh Allah, seraya mengatakan sebaagai kemenangan. Menerima sogok dan suap, diangap sebagai shadaqah dan jariyah. Uang-uang yang suhbhat dianggapnya sebagai yang halal. Bahkan, yang haram pun dianggapnya sebagai halal, yang dapat digunakan untuk mencapai tujuannya, terutama menggapai kenikmatan dunia.

Tak ayal lagi sekarang ini, kalangan orang-orang yang mengerti tentang ‘din’ sekalipun mereka berlomba-lomba dalam rangka untuk melaksanakan kebersamaan dalam “ta’awanu alal ismi wal udwan”, bersama-sama dalam mengusung kebathilan, dan menegakkan yang fasik, dan durhaka kepada Allah, meskipun selalu mereka berdalih dalam rangka mencapai kemenangan Islam.

Mereka sudah tidak lagi memiliki rasa malu di depan Allah Azza Wa Jalla, berbuat maksiat dan durhaka, justru mereka merasa menjalankan perintah-Nya. Inilah kehidupan orang-orang yang sudah kehilangan rasa malu. Wallahu’alam.

http://www.eramuslim.com/nasihat-ulama/milikilah-rasa-malu.htm

Thursday, October 7, 2010

Ust Mashadi: Mengapa mereka menempel di baju penguasa? Mereka memuja-muji panguasa? Tidak ada lagi nahyu munkar yang mereka tegakkan

Mengapa mereka menempel di baju penguasa? Mereka memuja-muji panguasa? Tidak ada lagi nahyu munkar yang mereka tegakkan. Mereka menjadi kelompok atau golongan yang menyanyikan : “Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang”.

Mereka memasuki semuanya relung-relung kehidupan. Tidak ada lagi pembatas (hijab) atas diri mereka. Tidak ada lagi kata, ‘la’ (tidak), dan yang ada hanya ‘nikmati dan boleh’, sehingga kehidupan mereka bercampur dengan kebathilan.

Semua dalil mereka gunakan. Tujuannya hanya untuk membenarkan apa yang hendak mereka inginkan. Kata ‘ijtihad’ menjadi resep mujarab, dan semuanya mengangguk. Tidak ada yang menyangkal. Semuanya mengamininya. Tanda setuju dengan segala ‘ijtihad’ yang mereka lakukan. Terkadang saking fanatiknya dengan ‘ijtihad’ yang disuguhkan itu, tentu yang berada dalam barisan kumpulan dan golongan itu, yang sudah tersihir dengan kehidupan dunia, tak bakal menerima pendapat dari yang lainnya.

Al-Qur’an dan As-Sunnah tak lagi menjadi ukuran dan pembeda. Barangkali Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi tak lagi penting bagi kehidupan mereka. Karena tuntutan sekarang berbeda. Harus ada rumus dan ijtihad baru yang lebih sesuai dengan kehidupan dan perkembangan zaman. Tidak harus kaku dan fanatik dengan prinsip-prinsip yang bersumber dari wahyu Ilahi. Semua prinsip dapat ditukar dan diganti, sesuai dengan perkembangan zaman. Semua prinsip dalam Al-Qur'an dan As-Sunah menjadi 'mutaghoyyirrot' (dapat berubah).

Rumus baru dalam kehidupan modern sekarang, tak lain, sebuah kepentingan. Prinsip-prinsip dapat diubah dan disesuaikan dengan kepentingan. Bila nilai-nilai yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, bertabrakan dengan kepentingan yang lebih besar, harus dikalahkan nilai-nilai dan prinsip dari Al-Qur’an dan As-Sunnah itu. Tidak perlu takut. Tidak perlu kawatir. Karena yang dikejar adalah sebuah kepentingan yang lebih besar. Kekuasaan. Tidak bisa Al-Qur’an dan As-Sunnah itu, dipaksakan. Apalagi dalam sebuah negara yang masyarakatnya majemuk (pluralis), maka harus ada rumus baru, khususnya dalam bermuamalah yang lebih terbuka alias inklusif, sehingga golongan diluar Islam dapat menerimanya.

Tidak mungkin menerapkan prinsip sabar. Sabar terhadap isi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, terlalu lama dan panjang. Sedangkan umur ini sangatlah terbatas. Target-target dan capaian dunia harus diwujudkan. Diujung perjalanan ini harus ini harus ada, kisah tentang, ‘the success story’, yang akan menjadi ‘ther corner stone’ bagi generasi berikutnya. Kebanggaan sebagai sebuah maha karya, yang dituntaskan seumurnya.

Karena itu, langkah-langkah ekselarasi yang harus dilakukan, betapa itu terasa menjadi naif dan tidak logis. Semuanya harus berjalan, sesuai dengan skenario. Tidak penting banyak yang tidak setuju. Tetapi semuanya harus berjalan, dan yang penting segala target dan keinginan dapat terwujud. Inilah sebuah kenikmatan yang tanpa batas, saat mereka menikmati pujian dan sanjungan yang tak henti-henti dari para pengikutnya dan orang-orang yang terdekatnya.

Kilauan harta, kekuasaan, jabatan, kekuatan, wibawa, dan sanjungan, serta tabiat mereka yang ingin selalu dekat dengan penguasa itu, ternyata sudah menjadi karakter di awalnya.

Itulah mengapa Islam hari ini tidak memiliki izzah (kemuliaan) dihadapan manusia dan Allah Azza Wa Jalla. Karena para du’atnya diantaranya banyak yang tidak lagi komitment terhadap Allah, Rasul-Nya, dan Kitab-Nya. Mereka menjadi hamba-hamba dunia. Mereka menuhankan dan beribadah kepada yang memberi materi, jabatan, kekuasaan, dan bahkan ada diantara mereka yang menukar Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan harga yang murah. Mereka lupa dan melupakan atas arahan dan perintah-Nya.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagut”, kemudian diantara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah ada pula yang tetap dalam kesesatan”. (QS : An-Nahl : 36)

Karakter seorang du’at, yang digambarkan oleh Al-Qur’an, hanyalah mengajak manusia untuk semata-mata menyembah kepada Allah, dan menjauhkan segala hal yang melampui batas dan dilarang oleh Allah (thogut), dan ini harus menjadi misi kehidupannya.

Tetapi, kenyataannya hari ini, sangatlah berbeda dengan seperti yang diinginkan oleh Allah Ta’ala, yang hakekatnya, ketika mengutus para Rasul, tak lain hanyalah untuk mengajak menyembah kepada Allah Azza Wa Jalla semata, bukan menyekutukan Allah dengan melakukan sesembahan terhadap ‘ilah-ilah’ lainnya. Pembalikan yang sekarang terjadi tak lain, karena mereka sudah kehilangan sikap tsabat (teguh), dan shabar terhadap keyakinan yang mereka miliki.

Shahabat Ali bin Abi Thalib RA, menyatakan sikap shabar itu, seperti pedang yang tidak pernah tumpul, dan seperti cahaya yang tidak pernah redup.

Dengan hilangnya sikap shabar para du’at yang hanya mengejar kehidupan dunia itu, maka mereka menjadi tumpul hati nuraninya, dan wajah mereka tidak lagi memancarkan cahaya iman, karena sudah terbalut dengan hitam pekatnya dunia.

وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

".. Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam pertempuran. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa". (QS : Al-Baqarah : 177)

Allah Azza Wa Jalla menuntut para du'at untuk tetap bershabar dan membela dan menegakkan agama Allah, dan tidak kemudian menanggalkan keyakinan dan komitmentnya terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan lari dari komitmentnya terhadap Islam, hanya demi kenikmatan dunia. Wallahu’alam.

http://www.eramuslim.com/nasihat-ulama/bersabarkag-atas-beban-dakwah.htm