Tuesday, August 19, 2008

PKS, Antara Pengharapan dan Pengakuan

assalaamu’alaikum wr. wb.

 

Menjelang Pemilu 2009, banyak harapan kembali disandangkan kepada parpol-parpol Islam.  Yang disebut parpol Islam tidak mesti partai berasaskan Islam, melainkan juga parpol yang berbasis massa Islam.  Dengan demikian, definisi ini mencakup PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, PAN, PKB dan semacamnya.  Meskipun Golkar dan PDIP pun banyak memiliki anggota dari kalangan Muslim, namun ia tidak termasuk dalam kelompok parpol Islam ini, karena keduanya tidak menjadikan umat Islam sebagai basis massa.  Pandangan ini tidak berubah meskipun PDIP, misalnya, telah mendirikan ormas Islam yang diberi nama Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi).

 

Kalangan pengamat pada umumnya sepakat bahwa pada Pemilu 2009 nanti insya Allah kita akan menemukan pergeseran kekuatan yang cukup signifikan.  PKB umumnya diprediksi akan terlempar dari ‘papan atas’ dan pindah ke ‘papan tengah’ lantaran konflik yang tak ada habisnya dan sikap Gus Dur yang tidak toleran dalam menyikapi perbedaan pendapat.  Meski demikian, sosok Gus Dur masih sangat strategis dan bisa menentukan perolehan suara PKB Muhaimin secara signifikan.  Banyak orang masih meragukan kemampuan Muhaimin untuk mengelola PKB tanpa Gus Dur.  Sebaliknya, banyak pula yang berpendapat bahwa PKB hanya bisa selamat jika melepaskan diri dari Gus Dur.  Namun semua sepakat bahwa konflik PKB harus segera dituntaskan jika PKB ingin tetap memiliki peran yang signifikan di Pemilu 2009.

 

PPP dan PKNU diprediksi akan mendapat tambahan suara akibat konflik PKB ini.  PPP adalah ‘rumah lama’ warga NU semasa Orde Baru, sementara PKNU secara khusus didirikan sebagai jawaban atas kekecewaan sebagian warga NU atas kepemimpinan (atau kediktatoran) Gus Dur di PKB.  Meski demikian, PPP juga mengalami masalah pada pencitraan dirinya karena kasus Al Amin Nur Nasution, sementara PKNU pun masih dipertanyakan kekuatan riilnya.  Masih ada satu lagi parpol yang berakar pada PPP, yaitu PBR, namun parpol ini pun mengalami masalah karena kehilangan Zainuddin M. Z. dan tersandung kasus Bulyan Royan.

 

PAN dan PBB adalah parpol yang cukup eksis sejak Pemilu 1999 dan memiliki basis massa yang cukup jelas, namun juga tidak sepi dari masalah.  PAN menghadapi cukup banyak tantangan, mulai dari kekecewaan kader Muhammadiyah terhadap PAN yang ‘malu-malu’ menampakkan identitas keislamannya, resistensi (sebagian) kader PAN terhadap dominasi figur Amien Rais, migrasi kader-kader muda ke Partai Matahari Baru (PMB), sampai pada masalah citra partai akibat iklan Soetrisno Bachir yang dianggap terlalu jor-joran itu.  PBB pun memiliki masalah yang cukup berbahaya untuk jangka panjang, terutama dalam masalah kaderisasi dan program jangka panjang yang kurang jelas.

 

Satu-satunya parpol Islam yang (kembali) diprediksi akan menuai peningkatan adalah PKS.  Setelah mendulang suara pada Pemilu 2004 dengan jumlah tiga kali lipat dari hasil Pemilu 1999 (ketika itu masih bernama PK), PKS terus berinovasi di medan politik.  Di DPR, suara para wakilnya cukup nyaring terdengar, meskipun jumlahnya masih relatif sedikit.  Gonjang-ganjing dana gratifikasi dan sirkulasi uang haram di DPR juga berawal dari aksi-aksi wakil rakyat dari FPKS.  Di beberapa tempat bahkan dilaporkan bahwa anggota dewan dari PKS dimusuhi oleh yang lain karena sikap kerasnya, terutama dalam menyikapi dana-dana liar yang ‘berseliweran’ di DPR / DPRD.

 

Prestasi yang cukup mengesankan juga dicetak di ranah Pilkada, terutama sekali di tiga propinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Utara.  Pasangan yang diusung oleh PKS di Jawa Barat dan Sumatera Utara sempat tidak diunggulkan, namun berhasil menaklukkan pasangan-pasangan lain yang diusung oleh partai-partai besar seperti PDIP dan Golkar.  Bahkan di Jawa Barat, pasangan HADE berhasil menundukkan dua pasangan lainnya yang diusung oleh begitu banyak parpol.  Kasus DKI Jakarta juga patut dijadikan sebagai catatan meskipun pasangan yang diusung oleh PKS pada akhirnya kalah, karena perolehan suara yang hanya beda sedikit, meskipun pesaingnya didukung oleh belasan partai, termasuk PDIP, Golkar, dan PKB sekaligus.  Terakhir, pasangan yang didukung PKS di Jawa Timur pun mendapatkan suara terbanyak, meskipun masih harus berkompetisi di putaran kedua.  Bagaimana pun, perolehan suara pasangan yang didukung oleh PKS di propinsi yang didominasi warga NU adalah suatu fenomena yang mengejutkan.

 

Meski demikian, PKS menolak untuk bersikap gegabah.  Prestasi yang telah dicetaknya belumlah membuat posisinya aman.  PKS masih membutuhkan koalisi dengan parpol-parpol lain, dan hal ini disadari sepenuhnya oleh jajaran pengurus pusatnya.  Berbeda dengan PKB (versi Gus Dur) dan PDIP yang sejak jauh-jauh hari sudah memproklamirkan pencalonan kembali Gus Dur dan Megawati, PKS bertindak lebih realistis dengan memfokuskan diri pada pemilu legislatif.  Jika perolehan suara PKS mencapai angka 20%, maka PKS akan mempertimbangkan pencalonan kadernya sendiri ke kursi RI-1 dan / atau RI-2.

 

Antara Dakwah dan Politik

Di kalangan umat Muslim sendiri, perdebatan mengenai keterlibatan dakwah dalam politik masih terus berlangsung.  Dakwah yang akan mewarnai politik, ataukah sebaliknya?  Da’i yang berjuang di jalur politik, atau politikus yang bertopeng da’i?  Mengapa harus memperjuangkan ajaran Allah melalui jalur yang tidak Islami (demokrasi)?  Pertanyaan-pertanyaan semacam ini selalu muncul dan membutuhkan jawaban yang pasti.

 

Diskusi mengenai hubungan antara dakwah dan politik dalam iklim demokrasi biarlah kita tinggalkan untuk para ulama yang berkompeten untuk menjawabnya.  Namun yang perlu disayangkan adalah sikap tidak adil sebagian orang dalam memandang dakwah di jalur politik.  Parpol-parpol Islam di Indonesia dipermasalahkan keterlibatannya dalam politik, sementara Mohammad Natsir, Buya Hamka, Hasan al-Banna, Sayyid Quthb dan sebagainya justru dipuji sebagai politikus yang mampu membawa wajah Islam ke ranah politik.

 

Tentunya pegangan kita adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan bukan perbuatan para ulama yang disebutkan tadi.  Kesalahan yang mereka perbuat (dan pasti mereka pernah berbuat kesalahan) tidak mesti ditiru.  Namun permasalahannya terletak justru pada konsistensi penilaian kita : apakah keterlibatan mereka dalam dunia politik itu baik atau buruk?  Jika buruk, maka tidak wajar memuji-muji mereka sebagai politikus yang Islami.  Jika baik, maka dakwah melalui partai politik pun tak boleh dicela, namun tetap wajib diawasi dan dikritisi.

 

Memahami Koalisi

Salah satu masalah besar yang menjadi sumber perdebatan umat Muslim dalam menyikapi parpol-parpol Islam adalah dalam hal koalisi yang pasti terjadi, selama suatu partai belum memperoleh jumlah suara 50% + 1 di legislatif.  Parpol-parpol Islam seringkali dikritisi karena berkoalisi dengan parpol-parpol lain yang dianggap tidak seideologi, sekuler, bahkan dalam beberapa kasus telah bersikap anti-Islam.  Koalisi PKS dalam beberapa kasus dengan Golkar dan PDIP menuai banyak kritik, karena keduanya adalah parpol sekuler.  Akan lebih gawat lagi jika PKS berkoalisi dengan PDS yang basis massanya adalah warga Kristiani.

 

Paling tidak ada dua hal yang perlu dipahami dalam memandang sebuah koalisi politik.  Pertama, koalisi tidaklah permanen, dan takkan pernah permanen.  Koalisi adalah bentuk kerja sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.  Koalisi itu tidak berlaku di luar agenda tersebut dan akan putus setelah tujuannya tercapai.  Untuk menggolkan RUU APP, misalnya, parpol-parpol Islam bersatu padu.  Namun dalam isu-isu yang lain mereka tetap berbeda pendapat.  Tidak ada salahnya pula berkoalisi dengan Golkar dalam menyukseskan pelarangan Ahmadiyah, misalnya.  Demikian pula koalisi dengan parpol sekuler dalam memenangkan kandidat bersama dalam Pilkada tak membuat PKS harus bertanggung jawab atas acara joget dangdut yang digelar oleh rekan koalisinya dalam kampanye, karena koalisinya hanya sebatas memenangkan kandidat bersama, dan bukan dalam joget dangdut.

 

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa koalisi non-permanen semacam ini justru bernuansa hipokrit, plin-plan, dan tidak konsisten.  Namun perlu diingat bahwa tuduhan semacam ini muncul dari perbedaan perspektif, di mana yang satu menilai konsistensi parpol dari komitmennya terhadap rekan koalisi, padahal yang bersangkutan hanya merasa perlu untuk konsisten terhadap agenda politiknya sendiri.  Rasulullah saw. pun tidak melarang kita bekerja sama dan berniaga dengan orang-orang kafir, karena yang demikian itu adalah koalisi dalam agenda muamalah, dan bukan dalam hal aqidah.  Tentunya takkan ada Muslim yang berani menuduh Rasulullah saw. telah bersikap inkonsisten dalam koalisinya.  Kita harus ingat juga bahwa koalisi permanen justru menimbulkan kerancuan.  Jika koalisi dilakukan secara permanen, artinya kedua belah pihak selalu setuju dalam segala hal.  Kalau memang selalu kompak, maka keberadaan banyak parpol justru kehilangan signifikansinya.  Justru karena adanya titik-titik perbedaan yang tidak mungkin dikoalisikan itulah maka orang-orang mendirikan parpol dengan berbagai karakternya.

 

Masalah kedua yang harus diperhatikan dalam masalah koalisi adalah bahwa hubungan koalisi tidaklah sesederhana kelihatannya.  Dalam beberapa kasus, banyak yang menyatakan keprihatinannya karena PKS berkoalisi dengan partai-partai yang berkampanye dengan joget dangdut.  Kita harus memahami kondisi dalam koalisi secara lebih mendalam.  Apakah PKS punya hak untuk melarang parpol lain untuk memberikan dukungan pada pasangan yang diusungnya?  Apakah PKS punya wewenang untuk melarang parpol lain berkampanye dengan caranya sendiri?  Jika PKS memutuskan untuk keluar dari koalisi lantaran perbedaan prinsip tersebut, apakah tindakan ini tergolong produktif atau malah kontraproduktif?  Pada kenyataannya, koalisi cenderung ‘memaksa’ masing-masing parpol pesertanya untuk bersikap toleran terhadap rekan-rekan koalisinya.  Dalam sebuah koalisi, tidak selalu ada partai yang lebih dominan daripada yang lain.

 

PKS Sebagai Tumpuan Harapan

Meskipun menuai banyak kritik (dan memang pantas untuk dikritik), pada kenyataannya PKS tetap dijadikan tumpuan harapan umat Islam.  Banyaknya kritik yang dialamatkan kepadanya justru bisa ditafsirkan sebagai besarnya harapan umat kepada PKS.  Sebagai contoh, ada yang bertanya, “Mengapa PKS harus berkoalisi dengan parpol-parpol sekuler di berbagai tempat, bukannya berkoalisi dengan parpol-parpol Islam saja?”  Pertanyaan ini sebenarnya bisa dibalik menjadi, “Mengapa parpol-parpol Islam di berbagai tempat tidak mau berkoalisi dengan PKS, justru parpol-parpol sekuler yang mau berkoalisi dengannya?”  Pada kenyataannya, pertanyaan yang pertama lebih sering diajukan daripada pertanyaan kedua.  Ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia masih memandang koalisi dari identitas para pesertanya, dan bukan dari agendanya.  Di sisi lain, penilaian ini juga membuktikan bahwa umat Islam – betapa pun tajam kritiknya terhadap PKS – masih menganggap PKS sebagai pihak yang paling mungkin dan mampu menghembuskan angin persatuan diantara parpol-parpol Islam di Indonesia.

 

Di milis INSISTS, misalnya, jika terjadi diskusi tentang ‘parpol Islam’, maka konotasinya pasti merujuk kepada PKS, bukan yang lain.  Jarang sekali pembahasan mengenai parpol Islam menyentuh PBB, PPP, PAN, atau PKB.  Hal ini menunjukkan bahwa di mata sebagian orang (terutama kalangan akademisi), yang diakui sebagai parpol Islam memang hanya PKS, meskipun ia belum bisa memenuhi kriteria ideal dalam pandangan umat Islam.  Ketika pendapat ini saya utarakan di milis INSISTS, ada juga yang berkilah dengan mengatakan bahwa pembahasan mengenai parpol Islam menjadi identik dengan PKS karena memang kader PKS banyak yang tergabung di milis itu.  Pernyataan yang terakhir ini juga bisa menghasilkan kesimpulan bahwa kader PKS-lah yang paling peduli dengan isu-isu pemikiran Islam, dan karenanya, paling banyak kadernya di milis INSISTS.

 

Konon, salah satu sifat paling buruk adalah mengingat-ingat keburukan orang sehingga melupakan kebaikan-kebaikannya yang jauh lebih banyak.  Muslim yang baik pasti tidak mudah melupakan kebaikan saudaranya, dan sebaliknya, paling mudah memaafkan kekurangannya.  Dengan segala kekurangan dan kelemahannya, PKS masih menjadi tumpuan harapan umat Islam Indonesia.  Sudah saatnya kita melestarikan ukhuwah dengan meyakini bahwa tidak ada satu pun manusia atau harakah di kolong langit ini yang tidak membutuhkan koreksi.

 

wassalaamu’alaikum wr. wb.

6 comments:

  1. Thanks for sharing. Maaf, belum sempat baca sampai habis.

    ReplyDelete
  2. "Dengan segala kekurangan dan kelemahannya, PKS masih menjadi tumpuan harapan umat Islam Indonesia"
    Maaf cuman mau nanya, berdasarkan kalimat diatas PKS cuman tumpuan muslim di indonesia. pertanyaannya: Bgaimana dengan umat islam dibelahan dunia yang lain??? misal di Palestina, Irak dll. mereka harus bertumpuh pada siapa?
    sukron

    Abu Falah

    ReplyDelete
  3. ya dengan gerakan dakwah di masing-masing tempat donk... :)

    meskipun kita berkeinginan membantu saudara2 kita di seluruh belahan dunia, namun pada kenyataannya fokus kita sejauh ini ya di Indonesia...

    ReplyDelete
  4. wah berarti nasionalisme dong!!!!!!!!!! padahal islamkan melarang nasionalisme/ asyobiyah. Nasionalisme adalah ikatan yang keji dan deskriminatif yang menghancurkan. Islam dengan tegas telah mengharamkan ikantan ini. Rosulullah bersabda: " Apabila ada orang yang membanggakan kemuliaan jahiliyahnya, suruhlah dia menggigit kemaluan orang tuanya. Janganlah kalian menggunakan kata-kata yang samar."
    gimana?

    ReplyDelete
  5. kayaknya tuduhan yg berlebihan... apakah MUI itu ashabiyah dan nasionalisme juga? kan MUI = Majelis Ulama INDONESIA...

    janganlah berlebihan... antum kan tau sikap PKS tentang isu2 Islam global, misalnya Palestina... atau pura2 gak tau?

    ReplyDelete